Khudori, Ironi Negeri Beras,
Beras dalam Pergulatan Politik
Beras dan politik seperti tidak ada sangkut pautnya. Beras adalah bahan pangan kita, sementara politik adalah alat perjuangan untuk mendesakkan kepentingan tertentu. Beras sangat konkrit, sedangkan politik sangat absurd. Akan tetapi dalam jalinan pergulatan kebudayaan rakyat kontemporer, dua kata itu menjadi mesra seperti pasangan suami istri.
Dalam sejarah negara Indonesia , beras dan politik selalu mengemuka. Di masa Orde Baru politik beras yang bergulir adalah swasembada beras –saking berlimpah sempat diekspor--, beras murah, dan petani tetap makmur. Sementara pasca reformasi politik beras yang bergulir beras langka, beras mahal, tetapi petani tidak makmur. Bahkan jutaan produsen beras (petani) terlilit dalam kemiskinan. Aneh. Tetapi kenyataan perberasan kita dewasa ini demikian adanya. Adakah yang salah dengan perberasan kita? Buku Ironi Negeri Beras ini mencoba mengulitinya.
Beras menjadi pangan penting tak lain karena bertalian dengan karakterisktik uniknya. Seluruh bagian beras bisa dimakan. Selain mengandung karbohidrat yang mudah dicerna, beras juga mengandung vitamin dan mineral penting. Teknologi pemrosesan, pengolahan, dan penyimpanannya mudah. Beras/padi bisa tumbuh mulai di daerah tropis sampai subtropis. Di dataran rendah hingga dataran tinggi. Beras bisa pula dibudidayakan baik secara tradisional maupun dengan teknologi mekanis. Selain itu varietasnya pun beraneka ragam, terdapat 90.000 varietas yang dikenal.
Bagi negara-negara kawasan Asia , beras merupakan komoditas yang penting dan strategis. Letak penting dan strategis beras bukan saja karena sebagian beras komoditas pangan ini diproduksi dan dikonsumsi di Asia , tetapi karena beras juga menjadi sumber devisa dan gantungan hidup jutaan rumah tangga petani. Dibandingkan dengan jenis serelia lainnya, seperti kentang dan jagung, beras merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia. Tidak banyak komoditas serelia lain yang memiliki posisi maha penting seperti beras (hlm. 19).
Beras dan Politik
Lalu bagaimana masalah beras dengan politik? Menurut Khudori, karena masalah pangan (baca: beras) berkait dengan keamanan rakyat. Sayangnya tidak ada catatan klasik di negeri ini yang menyebut pangan sebagai hal strategis sejak dari Kitab Pararaton, Negara Kertagama, Nitiprojo, Sutasoma, dan sebagainya yang berisi persoalan beras. Yang mempersoalkan pangan biasanya elite yang menempatkan pangan sebagai bagian penting dari instrumen politik yang dikaitkan dengan kekuasaan semata-mata. Karena pangan merupakan instrumen yang dipakai oleh rakyat.
Beras atau jagung atau lainnya jarang dianggap sebagai instrumen paling legitimatif untuk memperoleh loyalitas rakyat. Padahal untuk menjadi penguasa sebenarnya tidak perlu keris atau pedang atau bedil. Cukup dengan pangan, yang bisa membuat rakyat kenyang dan tentram. Itulah yang menjadi landasan pemikiran bahwa ketahanan pangan adalah hal penting. Ia tak kalah penting dibandingkan bahaya teroris, yang dianggap sebagai ancaman serius bagi keamanan, yang kini jadi wacana nasional dan global. Kalau kita mempergunakan isu pangan di Indonesia , misalnya roti atau mi instant yang kita makan sehari-hari sudah dicampuri bahan tertentu yang tidak halal, pasti runyam (hlm. 206).
Pangan secara harfiah memang bukan politik. Dalam kehidupan sehari-hari, pangan umumnya diperlakukan sebagai bahan-bahan yang diperlukan jasmani agar badan manusia bisa meneruskan keberlangsungan hidup. Tapi di sinilah pangkal persoalannya. Karena merupakan kebutuhan jasmani yang tak terelakkan, maka pangan menjadi barang langka ketika dihadapkan dengan sistem-sistem ekonomi dan politik yang luas. Maka dalam konteks pemaknaan ekonomis, pangan tidak lagi berhenti sebagai materi saja. Melainkan sesuatu yang bersifat menguntungkan, yang memberi keuntungan kepada siapa saja yang menguasainya (hlm. 207).
Namun harap hati-hati. Penguasaan pangan bila tanpa perhitungan bisa menggoncang politik. Maka kekuasaan penting untuk stabilitas pangan. Stabilitas pangan goncang, kekuasaan akan goyang. Ini lebih nyata lagi bagi banyak negara-negara berkembang dan miskin, seperti kondisi Indonesia mutakhir, karena sebagian besar pendapatan masyarakat terserap untuk pembelian pangan. Dalam masyarakat politik seperti itu persoalan pangan bisa menjadi ancaman stabilitas politik yang laten dan sewaktu-waktu bisa meledak.
Pertaruhan negara
Maka bagi Indonesia untuk mencapai ketahanan pangan, apapun dipertaruhkan oleh negara. Pembangunan infrastruktur diprioritaskan untuk pangan. Irigasi, bendungan, jalan, listrik, jembatan, dan lain-lain. Rakyat digerakkan untuk pangan. Dari sisi produsen usaha tani padi Indonesia melibatkan sekitar 25,4 juta rumah tangga petani atau lebih dari separo jumlah penduduk.
Tidak jauh beda dengan negara-negara
Buku ini berisi 6 bab utama. Bab 1 sejarah beras. Bab 2 ekonomi beras: dinamika perberasan di Indonesia , kelaparan di tengah kelimpahan beras. Bab 3 beras dan kebudayaan: kebudayaan beras di Indonesia : tidak sekedar ritual dan mitos, kebudayaan sawah. Bab 4 politik beras: peran strategis beras, politik beras di berbagai negara. Bab 5 beras dan perdagangan internasional:
Buku penting dibaca bagi pemangku kebijakan pangan nasional. Analisis dan data-datanya cukup mumpuni sebagai pijakan pergerakan memakmurkan rakyat melalui kebijakan pertanian dan pangan. Selain itu, buku ini cocok sebagai buku acuan utama mahasiswa fakultas pertanian.*
Kholilul Rohman Ahmad, Pustakawan Peminat Kebudayaan Tinggal di Magelang, Jawa Tengah