Langsung ke konten utama

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore (9/1/2008) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci.

Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi.

Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah untuk mengakhiri tahun 1428 dan mengawali tahun 1429 hijriyyah. Acara dimulai pada pukul 16.15 menit dengan membaca doa akhir tahun hingga waktu maghrib tiba.

Bacaan yang dilafalkan antara lain istighfar, shalawat nariyyah, dan doa khusus akhir tahun yang disuarakan jamaah dengan nada setengah keras sehingga gemuruh ribuan jamaah menggelegar di tengah perkebunan salak sebuah pedesaan itu. Usai doa akhir tahun di ucapkan, jamaah melaksanakan shalat maghrib berjamaah dengan imam Kiai Sholihun, kemudian membaca Surat Yasiin sekali dan doa awal tahun. Ritual selesai dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun itu.

Mengagungkan Bulan Mulia

Namun rangkaian acara Jauharul Muharram (mengagungkan bulan mulia) ke-10 ini belum tuntas. Sebab setelah doa awal tahun dipanjatkan, jamaah dipersilahkan menikmati hidangan nasi megono (nasi sayur dicampur parutan kelapa berbumbu segar) dengan lauk tahu-tempe. Hidangan makan dibawa sendiri oleh jamaah. Tapi sebelum dihidangkan, makanan dikumpulkan terlebih dahulu oleh panitia di suatu tempat, lalu dibagikan secara acak sehingga jamaah tidak makan makanan yang dibawa sendiri melainkan memakan bawaan jamaah yang lain. Di sini makna shadaqah terlaksana dengan hikmat.

KH Muhammad Yusuf Chudlori, penggagas acara dalam sambutan atasnama panitia mengemukakan bahwa tradisi Jauharul Muhaarram yang digelar di kawasan Asrama Perguruan Islam Ponpes Tegalrejo sejak 10 tahun silam merupakan upaya masyarakat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus berharap agar tahun depan segalanya menjadi lebih baik.

“Ketika bencana bertubi-tubi melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini berupa banjir, tanah longsor, dan angin kencang kita manusia diharapkan selalu mengingat kekuasaan Allah SWT,” katanya.

Acara yang digelar secara sederhana dengan acara dan menu ala orang desa ini, kata Gus Yusuf, merupakan ikhtiar membumikan nilai-nilai Islam dengan cara dan selera orang desa. Orang desa yang mempunyai kecenderungan guyub-rukun (komunalitas) harus bisa kita manfaatkan untuk hal-hal positif. Menggelar doa secara bersama, selain untuk memperdalam rasa pasrah kita di hadapan Allah, juga agar tali silahturahim antar orang desa selalu terjaga.

Sementara itu, KH Muhammad Najib (Gus Najib dari Paculgowang Jombang) yang mengisi mau’idhoh hasanah mengatakan bahwa tradisi suran (memperingati tahun baru Islam ala Jawa) merupakan tradisi Islam yang hadir di Indonesia dengan warna lokal. Kita jangan sampai terjebak pada perayaan suran yang justru keluar dari nilai-nilai Islam bahkan cenderung mengarah ke syirik (menyekutukan Allah). Banyak tradisi suran, khususnya di Jawa, yang bisa dikategorikan syirik. Titik tolak tradisi suran adalah merayakan bulan ‘Asyura.

“Karena orang Jawa sulit melafalkan ‘Asyura, maka disebut suran dan bulan bersangkutan disebut Sura. Ini harus tetap kita jaga. Di sinilah makna Islam yang tidak menghilangkan warna lokal. Justru ingin terus menghidupkan secara Islami tanpa meninggalkan khas lokal, seperti Jauharul Muharram di Tegalrejo sini,” katanya.

Acara yang disiarkan live oleh Radio Fast (96.4 FM) ini ditutup pada pukul 21.30 dengan bacaan doa sapu jagat dan doa akhir tahun oleh KH Abdurrahman Chudlori (pengasuh Asrama Perguruan Islam/API Pondok Pesantren Tegalrejo). Seusainya, jamaah pulang dengan hati tenang menatap hari esok dengan penuh harapan. Jiwa dan hati berada dalam perasaan aman-tentram. (kholilul rohman ahmad/arif hidayat)

Caption foto: JAUHARUL MUHARRAM KE-10. Sejumlah ibu di antara ribuan jamaah dari berbagai daerah terlihat sedang melafal do'a akhir tahun dalam acara Jauharul Muharram X di GOR Tepo, Dlimas, Tegalrejo, Magelang, (9/1/2008) sore yang dipimpin oleh KH M Sholihun. Ritual dilangsungkan di bawah cuaca cerah tanpa hujan. Selesai sudah acara ritual dengan doa akhir dan awal tahun.(foto/teks: kholilul rohman ahmad)

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Sejarah Modern Awal Asia Tenggara

Judul buku: Sejarah Modern Awal Asia Tenggara Judul asli: Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia (Thailand, 1999) Penulis: Anthony Reid Penerjemah: Sori Siregar, Hasif Amini, Dahris Setiawan Pengantar: RZ Leirissa Penerbit: Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2004 Tebal buku: xxiv+398 halaman termasuk indeks Pergulatan Kawasan Rempah-Rempah Asia Tenggara merupakan kawasan strategis dalam menyelesaikan dilema krusial sejarah modern kewilayahan regional tahap awal. Tetapi apakah ini memang benar-benar sebuah kawasan? Pertanyaan bernada meragukan ini sering dikemukakan beberapa pengamat kewilayahan. Sebab berbeda dengan Eropa, India, Dunia Arab, Cina, bahkan seluruh Asia Timur yang “terpengaruh budaya Cina” ( sinicized ), Asia Tenggara tidak mempunyai persamaan agama, bahasa, atau kebudayaan klasik (kecuali negeri yang bersinggungan langsung dengan India) yang besar dan tidak pernah menjadi bagian dari sebuah negara ( polity ) tunggal. Namanya saja diberikan pihak luar untuk memu

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi