Judul buku: NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam; Penulis: Mujamil Qomar; Pengantar: Azyumardi Azra; Penerbit: Mizan, Bandung, April 2002; Tebal buku: 367 hlm (termasuk indeks); Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad, Mahasiswa Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jatim.
Kontribusi Liberalisme NU tetrhadap Pluralisme Bangsa
Dalam percaturan politik Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah faktor. Meski secara eksplisit sering disebut sebagai organisasi kemasyarakatan non-politik, namun pengaruhnya dalam kehidupan politik tak bisa dinafikan. Perkembangan wacana menyangkut kebangsaan, kenegaraan, maupun keagamaan di masyarakat seolah belum sempurna perdebatannya jika dari NU belum ada komentar.
Makanya, ketika arus besar demokratisasi menghendaki respon signifikan dari berbagai elemen –sebagai konsekuensi atas pluralisme bangsa—dari NU muncul “gagasan liberal” untuk merespon perkembangan dan kondisi riil di masyarakat. Pandangan ini senada dengan beberapa pemikir dan peneliti yang menilai bahwa NU tidak selamanya statis karena tradisionalismenya. Justru karena berpegang teguh dan menghayati nilai-nilai tradisi yang berkembang di sekitarnya, menjadikan pemikiran-pemikiran NU bisa diterima oleh segenap elemen bangsa.
Lebih dari itu, belakangan ini muncul cendekiawan baru NU yang turut menambah maraknya pemikiran-pemikiran Islam yang makin liberal di kalangan NU sehingga tampak keluar dari lingkaran tradisi mereka sendiri (hlm. 26).
***
Sembilan tokoh NU (Abdurrahman Wahid, Masdar F Mas’udi, Achmad Siddiq, Said Aqiel Siradj, AM Sahal Mahfudh, Aabdul Muchith Muzadi, Sjechul Hadi Permono, M Tolchah Hasan, dan Ali Yafie) yang seringkali memunculkan gagasan liberal di mata sebagian pengamat dinilai sebagai langkah positif bagi kemajuan berpikir di tengah pluralisme masyarakat Indonesia. Karena ketika bangsa Indonesia mendamba perubahan menuju peradaban yang lebih maju dan memberdayakan, maka melalui gagasan liberal hal itu dapat dimulai.
Akan tetapi kemajuan pemikiran NU oleh sebagian orang dinilai kebablasan, utamanya pemikiran-pemikiran yang ditelorkan Abdurrahman Wahid dan Said Aqiel Siradj, sehingga Hartono Ahmad Jaiz merasa perlu menulis buku Bahaya Pemikiran Gus Dur sebagai counter terhadapnya. Maka, buku ini bertujuan untuk meluruskan anggapan tersebut di mana bagi penulis (Mujamil Qomar) perlu kajian mengenai liberalisasi pemikiran cendekiawan NU.
Mereka itu yang selama ini dinilai sebagai juru bicara NU dalam menyuarakan gagasan liberal, mengemukakan pandangannya tentang realitas tak sekedar menganalisis. Menurut Mujamil, mereka meramu khazanah intelektual pesantren dan wacana intelektual modern. Dengan menyandarkan pada khazanah tradisional, mereka mampu memberi corak baru wacana keislaman di Tanah Air (lihat sampul belakang).
Gagasan-gagasan yang disebut gagasan NU liberal –semacam pribumisasi Islam, kontekstualisasi fiqih, redefinisi Ahlussunnah wal Jamaah, penyatuan zakat dan pajak, serta inklusivitas Islam—memang tidak jarang menyulut reaksi keras, tidak hanya dari kalangan non-NU, tetapi dari kaum tua NU sendiri. Namun, mereka harus diakui telah memberikan kontribusi cukup penting bagi pencarian format Islam (baca: Ahlussunnah wal Jamaah) dalam konteks-khas Indonesia.
***
Jika menelaah NU, kita tak bisa melepaskan “teman seperjuangan”-nya, Muhammadiyah. Bila Muhammadiyah dikategorikan modernis, sebenarnya dilihat dari aspek sosial pendidikan, namun dilihat dari perkembangan peta pemikiran keagamaan akhir-akhir ini, agaknya citra modernis itu lebih memihak pada NU. Dalam bidang pemikiran, Mujamil mengutip pendapat Harun Nasution, pembaruan Muhammadiyah bisa dikatakan sudah tidak ada lagi. Justru NU mulai menggelindingkan pembaruan pemikiran Islam. Muhammadiyah sudah mulai ketinggalan (hlm. 27).
Oleh karena itu Mujamil melalui buku ini mencoba menilai, menimbang-nimbang, dan memetakan “gagasan liberal” sembilan pemikir NU itu. Pengkategorian kelompok Islam modern-tradisional (NU dikategorikan tradisional) dalam buku ini dapat dilihat sejauhmana pengaruh kategori tersebut. Pada pertarungan wacana keislaman dapat dinikmati, kelompok mana yang produktif menelorkan ide-ide pembaruan.
Namun, menurut Fachry Ali dan Bahtiar Effendy (1986), sebenarnya perbedaan dua kelompok itu lebih pada persoalan-persoalan metodologis dalam mendekati ajaran Islam. Maka, terlepas adanya perbedaan penilaian terhadap NU berkaitan dengan pembaruan pemikiran keagamaan, tetapi terdapat titik pertemuan dari semua pendapat tersebut bahwa NU telah serius mengadakan pembaruan dan terbuka terhadap masuknya wawasan baru.
Dalam ranah gagasan Islam yang oleh Greg Barton disebut gagasan liberal, NU berangkat dari tradisi keilmuan yang akrab dengan khazanah lama (kutubul mu’tabarah) sebagai upaya mengemban tugas memberikan petunjuk pelaksanaan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan (hlm. 121).
***
Jika selama ini buku-buku tentang NU menunjukkan keterlibatannya dalam percaturan politik, maka melalui buku ini kita bisa menengok kontribusi gagasan NU terhadap dinamika dan keberagaman kehidupan bangsa. Gagasan liberal sembilan tokoh NU yang dikaji buku ini di mana menunjukkan liberalisme NU, tampaknya akan terus bergulir sejalan perkembangan wacana kebangsaan. Dan, kajian ini untuk menjawab persoalan-persoalan dari dinamika pemikiran Islam yang dilontarkan cendekiawan NU, kadar liberalisasi pemikiran Islam ditinjau dari tradisi pemikiran NU, tipologi pemikiran Islam dari kalangan cendekiawan NU, dan implikasi dari dinamika pemikiran Islam yang dilontarkan para cendekiawan NU itu.
Dengan paradigma berpikir yang mencoba mengintegrasikan tradisi dan modernisasi itu, NU menghormati tradisi yang baik (tradisi yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam atau yang dapat diislamkan). NU senantiasa mengapresiasikan nilai-nilai atau tradisi yang ada di masyarakat sehingga tradisi tersebut tidak perlu dibongkar seluruhnya, tetapi perlu diselaraskan dengan ajaran Islam.
Lewat pengembangan pemikiran Islam, NU ingin menyempurnakan dan membimbing nilai-nilai atau tradisi yang berkembang di masyarakat, agar tidak bertentangan dengan ajaran Islam. NU sama sekali tidak berniat menghapus nilai-nilai lama yang sudah melekat dalam sanubari warga masyarakat (hlm. 96).
Andree Feillard, penulis NU vis-à-vis Negara (1999), mengatakan bahwa karya Choirul Anam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (1985) merupakan karya monumental pertama yang sangat komprehensif tentang sejarah NU. Maka, menurut hemat peresensi, tak berlebihan jika karya Mujamil Qomar ini kita nilai sebagai karya monumental dan komprehensif pertama tentang perkembangan pemikiran cendekiawan NU kontemporer. Sebab selama ini, kajian-kajian khusus tentang tokoh NU bersifat individualistik, yakni mengupas tokoh NU tertentu.
Maka ketika Mujamil mengajukan sembilan tokoh NU, senada jumlah bintang dalam lambang NU, acungan jempol atas kerja intelektualnya layak disandangkannya.*
Kholilul Rohman Ahmad, Mahasiswa Aqidah Filsafat IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung, Jatim.
d/a.: Asrama Putra Blok E-7 Perum. IAIN Sunan Kalijaga, Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281, telp. 0274-543556/ 0817268389; E-mail: kholilulrohman@yahoo.ca