Editor: Henri Chambert-Loir & Claude Guillot
Penerjamah: Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris
Cetakan: Pertama, April 2007
Tebal: 588 halaman
Oleh: Kholilul Rohman Ahmad
Asal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi Yahudi dan Kristen yang sudah lama bercokol sebelumnya di daerah-daerah seperti Palestina, Suriah, dan Mesir, di mana Islam berkembang tidak lama setelah wafat Nabi Muhammad SAW.
Munculnya tradisi ziarah dan penguatan status tanah suci erat kaitan dengan “pengangkatan” seseorang menjadi wali pasca Muhammad dan Makkah sebagai tempat suci umat Islam. Menurut buku ini, sebutan wali (bisa disebut ulama) merupakan kelanjutan tradisi kenabian karena setelah Muhammad wafat tidak ada Nabi. Maka wali menjadi alternatif (simak hadits “al ulama warasah al-anbiya”, ulama adalah penerus nabi) serta makamnya menjadi tempat suci alternatif di kawasan tertentu.
Dalam tradisi Islam tidak ada lembaga yang mengangkat wali dan tiada sertifikatnya. Masyarakatlah yang mengangkat seseorang menjadi wali dan karena sikap patuh mereka terhadap para wali tidak ditentukan oleh al-Quran atau Sunnah, maka masyarakat sendiri pula yang mengaturnya. Menilik kedua pernyataan ini, wajar apabila masyarakat menjadikan makam-makam para wali sebagai tempat kebebasan mengekspreasikan religiusitas mereka.
Di Jawa, wali adalah tokoh yang telah berhasil menghimpun dalam dirinya berbagai kesaktian, baik karena bakat lahiriah atau hasil perjalanan batiniah. Kesaktian yang tadinya berada dalam dirinya kemudian bersemayam dalam makamnya. Maka ada peziarah di Jawa –terutama mereka yang mendatangi tempat-tempat keramat terpencil mirip pertapaan—berkhalwat di situ beberapa hari/minggu, dekat sebuah makam. Tujuannya macam-macam: mencari ketenangan batin atau menyejukkan dan menenangkan pikiran.
Bagi santri pencari jalan Tuhan, berkelana dari makam ke makam bertujuan mencari peningkatan kehidupan batiniah. Bagi pengusaha/pedagang, berkunjung ke makam untuk menyelesaikan persoalan finansial (terlilit utang, rejeki lancar), berharap pekerjaan bagi pengangguran, lancar berurusan dengan pengadilan, cekcok suami/istri, dan semua lingkup persoalan sehari-hari. Bagi istri yang dimadu suami ke makam Nyai Mas Gandasari (Penguragan, Cirebon), istri mandul ke situs Batu Celek (Cirebon), santri ingin hafal al-Quran ke makam Mbah Isam (Kudus), ingin menang nomor lotre ke makam Eyang Buda (Karangkebolotan Yogyakarta atau kuburan kerajaan Banyusumurup). Sangat terhormat makam Walisongo karena jarang dikunjungi orang dengan tujuan “aneh-aneh” itu (hlm. 356-357).
Hal ini cukup beralasan karena makam wali adalah kawasan damai di tengah keributan dunia. Bukan sekadar tempat suci, melainkan juga tempat hidup di luar masyarakat biasa. Di dalamnya boleh minum, makan, tidur, dan bercakap-cakap. Makam wali adalah pelarian, tempat orang merasa bebas dari berbagai paksaan dan tekanan, dan tempat merenungkan nasib, juga tempat berlindung untuk orang pinggiran: pengemis, orang cacat badan atau jiwa, pengelana, buronan, dan sebagainya. Di tempat itu perbedaan sosial mengabur dan hubungan antarmanusia berlangsung dalam suasana kemurahan hati dan persaudaraan (hlm. 15).
Tradisi ziarah atau pengeramatan wali-wali di dunia Islam memiliki banyak segi yang sukar dinilai, karena tidak hanya merupakan gejala sosial tetapi juga gejala batiniah yang tergantung pada keyakinan masing-masing orang. Boleh saja dicap penipuan, kepolosan rakyat, takhayul, pemujaan jahil, tetapi sebenarnya para peziarah tidak lebih munafik dibanding pelaku berbagai praktik agama lain.
Walaupun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa para wali tidak menyukai karomah atau dikeramatkan. Karena itu kaum terdidik, kaum rasionalis, dan kaum positivis sedikit demi sedikit mengusir para wali. Apakah wali-wali Islam akan mengalami nasib yang sama dengan santo-santo Kristen? Jawabannya bisa Anda simak artikel-artikel dalam buku ini. Dapat disimpulkan fenomena wali dan tradisi ziarah kubur adalah salah satu wujud agama Islam yang paling hidup, meskipun kerap dipersepsikan sebagai lanjutan dari ritus pra-Islam (hlm. 197).
Buku ini mengupas makam-makam keramat wali Islam di dunia yang paling ramai dikunjungi: Timur Tengah (makam Syekh Abdul Qadir al-Jailany, Bagdad); Mesir (makan Sayyid Badawi di Tanta); Sudan Timur Laut; kawasan Maghribi (Aljazair, Maroko, Tunisia, Makam Abu Madyan); Afrika Barat (pusat tarekat Murudiyah); Afrika Timur; Iran (makam Ali bin Mahziar di Ahwaz); India (makam Bibi Kamali, wali perempuan di Kako); Pakistan (makam Glora Syarif); Bangladesh (makam Pir Atroshi); Indonesia (makam Sunan Gunung Jati, Wali Songo, dan makam Kiai Telingsing); Turki dan Asia Tengah (makam Haji Bektash di Anatonia Tengah dan makam Baha’uddin Naqsabandy di Bukhara, Uzbekistan); Balkan (makam Ajvatovica); dan, Tiongkok (situs Da-Gongbei, makam Qi Jingyi atau Ch’i Ching’i atau Hilaluddin).
Buku ini menjadi monumen atas eksistensi tradisi ziarah kubur yang telah berlangsung berabad-abad di dunia Islam dan menginspirasi kehidupan dalam perspektif religius, humanitas, politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Buku ini hadir untuk menjelaskan secara antropologis tentang tradisi ziarah kubur bagi khalayak umum.*