Judul: Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan
Penulis: Dr Endang Turmudi
Penerjemah: Supriyanto Abdi
Penerbit: LKIS Yogyakarta, Cetakan Pertama, Februari 2004
Tebal: xv + 348 halaman
KIAI berpolitik dalam percaturan politik
Persoalannya, zaman sekarang beberapa kiai bersikap "tidak proporsional" dalam mengurusi persoalan politik, sebagaimana digambarkan dalam buku ini. Memang, dalam sejarah dicatat bahwa kontribusi perjuangan kiai tidak pernah absen dalam proses kebangsaan. Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, meski secara normatif kiai bertugas mengajar agama di pesantren, kiai tidak dilarang-ketika situasi "genting"-terjun ke dunia politik. Akan tetapi, hal ini menjadi "persoalan tersendiri" ketika banyak politikus murni menyandang gelar kiai. Ia aktif berpolitik praktis tanpa aktivitas mengajar di pesantren atau madrasah.
Namun, Endang Turmudi, penulis buku ini, lain. Bukan hendak mengetengahkan "kiai politik tanpa pesantren", tetapi membahas keberadaan kiai sebagai lembaga yang secara riil mempunyai tanggung jawab mengelola pesantren, namun juga aktif berpolitik praktis melalui partai politik. Buku yang semula merupakan disertasi ini mencoba melihat kepemimpinan kiai secara umum dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek kultural dan politik kepemimpinan mereka.
SEBAGAIMANA dijelaskan penulis, bahwa karena hubungan antara kiai dan masyarakat diatur oleh norma-norma yang diambil dari pemahaman mereka tentang Islam, perubahan-perubahan dalam hubungan mereka tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada tingkat masyarakat yang lebih luas, tetapi juga oleh perubahan-perubahan dalam norma-norma yang ada. Perubahan pada terakhir ini, kata Endang, sangat terkait dengan proses penafsiran kembali atas Islam.
Karena keterkaitan orang (kiai) Jawa-sebagai sentral penelitian-terhadap Islam, dinyatakan oleh Mark Woodward dalam Islam Jawa, adalah "kekuatan dominan keyakinan dan ritus keagamaan mereka serta pembentuk sifat dasar interaksi sosial kehidupan keseharian mereka", maka perubahan-perubahan dalam dunia sosial yang lebih luas sangat terkait dengan pemahaman baru orang Jawa terhadap Islam.
Perubahan-perubahan dalam norma dan struktur sosial yang lebih luas ini sangat krusial. Perubahan-perubahan ini melahirkan pertanyaan berkaitan dengan munculnya sebuah tatanan baru yang mengatur pola baru hubungan antara kiai dan masyarakat atau antara berbagai segmen dalam masyarakat Jawa, termasuk di dalamnya adalah pengakuan berbagai kelompok yang ada terhadap "lokasi sosial" baru mereka (hal 6).
Atas adanya asumsi ini, hal tersebut memicu tumbuhnya kiai generasi muda yang kritis dan berbau modern sebagai antitesis mengupayakan kembalinya posisi kiai sebagai sentral informasi dan bimbingan bagi kehidupan masyarakat. Sesungguhnya, lahirnya generasi kiai kritis ini bukan hanya melahirkan kalangan Islam muda yang kritis terhadap kepemimpinan kiai, tetapi juga memberikan alternatif mengenai adanya bentuk-bentuk kepemimpinan yang lain. Dengan demikian, dalam analisis Turmudi, posisi kiai dan kepemimpinan karismatiknya kemudian berubah secara tak terelakkan (hal 120-121).
Selain itu, bukan kebetulan, misalnya, jika seorang kiai yang oleh penulis kenal baik dituduh korupsi mengambil uang dari harta wakaf yang dikelolanya. Dalam kasus ini, tampak bahwa posisi kiai yang terhormat sudah goyah, tidak hanya karena ia melakukan perbuatan yang diharamkan, melainkan juga karena adanya perubahan dalam norma sosial yang melandasi hubungan-hubungan sosial di antara para penduduk. Tuduhan seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya karena masyarakat tidak akan menganggap pantas mengkritik kiai (hal 5).
Dengan fakta ini, sebetulnya penulis hendak menyatakan bahwa telah ada pergeseran posisi kiai di mata masyarakat. Selain itu, akibat politik yang dimainkan kiai juga memengaruhi para pengikutnya. Di Jombang, lokasi yang dijadikan sampel penelitian ini, masyarakat lebih percaya kepada pesantren dan tarekat ketimbang kepada organisasi keagamaan atau partai politik yang "menaunginya". Kenyataan ini juga menimbulkan ketegangan tersendiri akibat konflik antarkiai yang saling berebut pengaruh (hal 114-115). Namun, dengan adanya dua orientasi politik kiai (kembali ke khitah dan ikut partai), bagi pengikutnya, merupakan keuntungan. Sebab, mereka akan dapat memainkan peran dalam masyarakat secara sosial dan politik. Ini terjadi karena masyarakat Muslim masih meyakini bahwa kiai adalah pembimbing moralitas masyarakat yang senantiasa harus dihormati dan diikuti.
Dengan demikian, keberhasilan upaya-upaya kiai dalam mengenalkan orientasi politik yang terbuka melalui partai politik, yang telah menyebabkan menurunnya pengaruh politik mereka, seperti ditunjukkan oleh perubahan "pola memilih partai", ternyata di mata masyarakat tidak mesti berarti hilangnya pengaruh kiai dalam masyarakat (hal 323). Alhasil, kiai sebagai pemegang otoritas keagamaan ditempatkan pada posisi yang sangat terhormat sehingga ia mampu memengaruhi dan menggerakkan aksi sosial para pengikutnya. Meski demikian, pengaruh kiai terkadang menjadi tidak bermakna ketika otoritasnya dianggap telah menyimpang dari apa yang seharusnya
BUKU yang semula berjudul Struggling for the Umma: Changing Leadership Roles of Kiai in Jombang,
Sungguh, buku ini menarik untuk memotret sosio-psikologi politik kiai secara nasional. Sayangnya, penerbit LKiS terlalu dini menyimpulkan "lirikan" kiai sebagai "perselingkuhan" sebagaimana dinyatakan dalam judul edisi Indonesia. Sebab, jika dicermati, dalam konteks tertentu, "data-data panas" yang ditulis buku ini bisa dimaknai ’pemberdayaan kiai sebagai upaya membuka pikiran para pengikutnya secara politik’.
Dalam konteks sekarang, tesis-tesis yang dikemukakan Endang Turmudi dalam buku ini butuh data-data baru yang lebih akurat dan aktual. Sebab, ketika penelitian ini dilakukan pada pertengahan dasawarsa 1990-an, kondisi politik
Kholilul Rohman Ahmad Pustakawan, Tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah. Naskah ini pernah dimuat di harian Kompas Sabtu, 19 Juni 2004