Judul: Republikanisme dan Keindonesiaan ~ Sebuah Pengantar Penulis: Robertus Robert Penerbit: Marjin Kiri, Jakarta, Juli 2007 Tebal: xiv+140 halaman
Melawan Lupa Bicara Indonesia
Oleh: Kholilul Rohman Ahmad
Merdeka, merdeka, merdeka... Sebuah untaian kata lazim diucapkan teriak sambil mengepal tangan ke atas, gerakan khas pejuang kemerdekaan. Kini jarang kita temukan gerakan heroik seperti itu kecuali dalam film atau saat para veteran perang mengadakan temu reuni. Bersama tenggelamnya teriakan kata merdeka, nafas republik kini sedang terengah-engah. Indonesia bersedih.
Kesedihan lahir, menurut buku karangan Robertus Robert ini, bukan karena Indonesia mengalami krisis ekonomi atau banyak koruptor, melainkan oleh warganya tidak dipikirkan nasibnya masa depan dalam konteks republikanisme. Warganya merasa Indonesia sebagai republik sudah ada sebelum mereka lahir sehingga kini tidak perlu memikirkan lebih jauh. Seolah-olah ia lahir seketika dan begitu saja. Seakan para veteran itu telah menghadiahkan Indonesia kepada kita dengan republik.
Buku ini menelusuri akar sejarah republik, mengapa pilihan ke republik, pergulatan pemikiran filsafat, politik, dan agama atas lahirnya republik, hingga realitas sosial yang melingkungi penguatan republik sebagai salah satu arus utama dunia yang berkembang hingga jaman modern ini dan dianut oleh bangsa-bangsa besar, termasuk Indonesia dan AS.
Buku ini hadir sebagai upaya agar republik, di mana kita saat ini berteduh di bawahnya, tidak dilupakan. Agar republik tidak dianggap sebagai barang antik milik angkatan masa lalu. Sebab banyak dari kita kurang memahami dan melupakan mengapa kita menggunakan kata republik. Sehingga mengakibatkan setiap kali kita bicara Indonesia maka yang kita bicarakan terbatas pada karakter fisik dan geografisnya. Lebih jauh lagi, setiap kita bicara soal kebangsaan maka imajinasi politik sangat terbatas pada soal-soal klasik semacam nasionalisme yang parahnya juga dipahami secara esensialis.
Kita mulai lupa bicara Indonesia dari sudut pandang semangat dan kerangka utamanya yakni republik. Kelupaan akan republik membuat kita merasa bahwa tanpa perbuatan aktif dan sengaja menjaga dan memeliharanya, republik akan tetap ada sepanjang masa. Padahal secara perlahan kita kini mulai kehilangan pegangan fundamental menyangkut proyek hidup bersama kita sebagai bangsa (hlm xii).
Mengapa Republik?
Republikanisme merupakan sebuah tradisi modern yang memiliki akar panjang dalam tradisi klasik. Sebagai warisan pemikiran fundamental dunia politik ia merentang sejak Yunani Kuno, Roma oleh Aristoteles dan Cicero, kemudian ke Maciavelli di era awal zaman romantis, terus ke Rousseau di zaman Pencerahan hingga ke Hannah Arendt dan Phillip Pettit pada abad ke-20. Dalam praktik terinspirasi pola kehidupan kota Yunani Kuno. Sumber utama ajarannya terkandung pada konsep zoon politikon atau homo politicus, yakni manusia sebagai mahluk politik (hlm. 6-7).
Penyakit utama republik adalah korupsi. Menurut N Machiavelli, korupsi adalah tindakan yang menempatkan kepentingan tertentu di atas kepentingan umum. Pengertian korupsi ini lebih luas dibanding yang kita kenal sekarang: bukan sekedar ‘penyalahgunaan kekuasaan politik untuk mencapai keuntungan pribadi atau sebaliknya’.
Kata Machiavelli, termasuk tindakan korupsi seperti: mengangkat senjata dengan tentara bayaran untuk melawan negara, ambisi berlebihan dan arogansi dalam mengelola kekuasaan, dan menipu dengan kemasyhuran. Bahkan aktifitas agama termasuk korupsi, bila menganjurkan pemeluknya untuk lebih berfokus pada keselamatan diri sendiri di akhirat sebab praktik semacam itu mengembangkan keutamaan yang salah (hlm. 29).
Buku ini didedikasikan sebagai upaya memperkaya khazanah politik Indonesia. Buku ini bukan menuduh demokrasi kita sedang defisit, demokrasi kita juga tidak sedang dibajak elit, idealisasi hak asasi manusia (HAM) juga tidak mundur bahkan mengalami kemajuan-kemajuan nyata, setidaknya di tingkat normatifnya. Yang menjadi persoalan utama saat ini adalah cara dan alat memandang berbagai persoalan hanya mengandalkan satu konsepsi saja, yakni demokrasi (hlm. 103).
Terlebih kita eksploitatif dan berlebihan terhadap demokrasi. Sehingga gagasan republikanisme ingin merapat ke tengah menjadi alternatif kehidupan politik masa depan, setidaknya dalam posisi sama dengan demokrasi untuk mengisi kekosongan etika politik di Indonesia (hlm. 105). Selain itu, ada pertalian sejarah republik dipakai nama depan Indonesia sebagai konsep final sekaligus memotong tali sejarah kolonialisme (hlm. 110-111).
Buku mungil penuh detail definisi ini berisi 6 bab utama: pengertian dasar republikanisme (bab 1), landasan filosofis republikanisme (2), antara kebebasan dan komunitas (2), merehabilitas konsep politik (4), republikanisme Hatta upaya mengisi kekosongan etika politik di Indonesia (5), dan melanjutkan Indonesia (bab 6). Di ulang tahun ke-62 Indonesia merdeka buku ini menjadi monumen penting menghangatkan semangat kebersamaan dalam upaya mencari bingkai nasional penuh harapan. Buku ini layak dibaca para pengambil kebijakan politik di Tanah Air: anggota DPR/MPR, Presiden, Menteri, hingga kepala desa.
Kholilul Rohman Ahmad, Pemerhati masalah budaya, general manager Radio Fast FM Magelang, Jawa Tengah. Naskah ini pernah dimuat JAWA POS 17 Aguatus 2007