Penulis: William James
Penerjemah: Gunawan Admiranto
Pengantar: Hanna Djumhana Bastaman, Martin E Marty
Penerbit: Mizan,
Tebal: 755 halaman [termasuk indeks]
FAKTA PSIKOLOGIS MANUSIA “BERTEMU” TUHAN
Oleh Kholilul Rohman Ahmad
Buku ini mengetengahkan berbagai pengalaman manusia beragama tentang kejadian yang menimpanya di mana disebut sebagai pengalaman “bertemu” Tuhan. Dengan berbagai pengalaman manusia yang disajikan melalui buku ini, William James hendak memberikan bukti ilmiah bahwa sesungguhnya agama tidak semestinya diformalkan dengan sepenuhnya bersandar pada pengalaman religius “manusia pilihan” Tuhan. Sebab dengan formalitas agama itu menjadikan agama tidak sakral dan personal. Padahal kenyataan sejati agama adalah sangat berkaitan erat dengan persoalan personalitas pemeluknya yang tidak bisa dijelaskan, namun bisa dirasakan. Dengan lain kata, menurut pandangan William, sebetulnya setiap manusia punya potensi sebagai “manusia pilihan” dengan tingkat spiritulitas tertentu.
Sebagaimana pengalaman orang-orang yang telah “bertemu” Tuhan yang berhasil dirangkum oleh William dalam buku ini. Kebanyakan mereka menyatakan bahwa ekstase yang timbul ketika ‘berjumpa’ dengan Tuhan itu hanya bisa diraih dalam hitungan menit, tidak sampai dalam hitungan hari. Pun, ia datang tanpa diundang. Secara tiba-tiba. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Bahkan selama hidupnya, hanya sekali-dua merasakannya. Namun pengaruh atau efek yang muncul setelahnya melebihi orang yang paling lantang menyatakan dirinya beragama.
Pandangan ini sepanjang abad ke-20 merupakan buah pemikiran baru dalam bidang pemikiran agama, maka melalui karya monumental ini William dinobatkan sebagai Bapak Psikologi Aliran Pragmatisme. Gagasannya memunculkan kontroversi. Kontroversi yang paling hebat mempublik lantaran pemikirannya dikuatirkan menggeser agama-agama formal yang selama ini telah dipeluk oleh sebagian besar manusia penduduk bumi.
William James berpendapat bahwa pengalaman-pengalamn religius berakar dan berpusat pada kondisi kesadaran mistis. Pengalaman dan kesadaran ini bersifat unik dan personal, sehingga perlu pendekatan filsafat untuk menjadikannya asas-asas yang lebih umum. Fenomena kesadaran mistis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: sangat sulit bahkan mustahil diungkapkan dengan kata-kata; menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu; hanya terjadi dalam waktu singkat; sekitar 30 menit sampai 2 jam; berlaku kepasifan total diawali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.
Pengalaman mistis (atau pengalaman religius) terkadang mirip dengan, misalnya, kondisi kesurupan atau gejala menulis secara otomatis (automatic writing). Akan tetapi pengaruh positif pengalaman-pengalaman religius tidak mudah hilang bahkan meninggalkan kesan menetap dan mendalam serta benar-benar bermakna bagi yang mengalaminya.
Menurut Hana Djumhana Bastaman dalam kata pengantar, pada suatu periode pernah merebak suatu mode di kalangan sekelompok ilmuwan kedokteran untuk mengembangkan pendekatan materialisme mistis. Mereka melakukan penilaian medis dan diagnosis terhadap tokoh-tokoh sejarah, seperti negarawan terkenal, pendiri agama, dan pelopor sekte-sekte keagamaan. Hasilnya dapat diduga, mereka menilai tokoh-tokoh ini sebagai penderita penyakit parah.
Misalnya, Santo Paulus dianggap menderita ayan akibat luka di korteks otak, Santa Theresia dianggap menderita hysteria, George Fox pendiri agama Queker merupakan psikopat yang mewarisi ahlak rendah dan penderita kelainan usus tak keruan, dan Thomas Cartyle sang negarawan genius adalah penderita radang lendir di lambung dan usus 12 jari.
Para pengamat materialisme medis menyatakan karya-karya gemilang dan nilai-nilai luhur kehidupan yang diungkapkan para tokoh tersebut tidak lain merupakan akibat lanjutan dari penyakit-penyakit mereka. Bahkan kegeniusan ini dinilai Dr Moreau, seorang pakar neurology, sebagai salah satu jenis penyakit saraf. Demikian pula, Dr Lombroso --yang terkenal dengan temuan tipe-tipe wajah penjahat-- mengatakan bahwa genius adalah gejala degenerasi dari sejenis menyakit ayan yang turun-temurun dan berkaitan dengan kekacauan moral.
William James melalui buku ini membantah pendapat tersebut. Pandangan itu dinilai sebagai salah kaprah. Karena analisis tentang kondisi psikofisik para tokoh sejarah itu tidak bisa menjelaskan berkembangnya hal-hal positif pada diri mereka. Seperti kedalaman spiritual, kejujuran, kebajikan, kebesaran, dan kemuliaan. Menurutnya, antara kondisi psikofisik dengan keluhuran karakter benar-benar berbeda dimensinya.
Maksudnya, kondisi psikofisik berdimensi eksistensial, sedangkan kondisi hidup yang sarat dengan kualitas dan nilai-nilai luhur termasuk dimensi spiritual. Maka penilaian yang satu tidak boleh ditarik dari penilaian yang lain. Sehubungan dengan itu, penilaian atas karya agung seorang tokoh tidak boleh berpijak pada asal-usul atau keadaan psikofisik yang mungkin saja diderita. Yang menjadi tolak ukur adalah sejauhmana terdapat keterpahaman secara langsung (immediate luminousness), kemasuk-akalan secara filosofis (philosophical reasonableness), dan kemanfatan secara moral (moral helpfalness) (hlm. 26).
Martin E Marty menyatakan, dalam situasi semacam itu, orang melakukan kesalahan jika merendahkan atau menghalangi keyakinan. Dalam kecenderungan semacam itu, manusia berhak untuk mengikuti kebutuhan emosi mereka. Mereka berhak untuk dibiarkan memiliki sebuah pengalaman religius dan menyebutnya seperti itu. Keyakinan berada di belakang tindakan, dan tidak bisa ditolak. Tentu saja, keyakinan tidak selalu harus bersifat religius. James tahu itu. Akan tetapi jika memang berbentuk religus, keyakinan tidak boleh dikaburkan atau diberi sebutan baru. (hlm. 54).
Sehingga dalam menilai secara kritis makna fenomena keagamaan, penting menekankan perbedaan agama sebagai sesuatu yang berfungsi bagi individu secara pribadi, dengan agama sebagai suatu produk institusional, korporasi, atau tribal. William James menarik garis pembeda ini. sebab kata agama yang lazim bersifat ambigu.
Sebuah survei historis menunjukkan bahwa secara umum para genius agama akan menarik sejumlah pengikut dan menghasilkan sekelompok simpatisan. Jika kelompok ini menjadi cukup kuat untuk mengorganisasikan diri mereka segera menjadi lembaga-lembaga keagamaan yang memiliki ambisi kelembagaan secara politik, ekonomi, budaya, sosial atau bidang kehidupan lain secara sendiri. Kemudian, semangat politik dan nafsu akan kekuasaan dogmatik cenderung untuk masuk dan mengontaminasi ajaran yang sebelumnya bersifat murni.
Maka ketika sekarang kita mendengar kata ‘agama’, pasti pikiran kita terarah ke suatu gereja, masjid, atau tempat ibadah tertentu. Dan untuk beberapa orang kata gereja atau masjid diarahkan ke kemunafikan, tirani, kejahatan dan kekakuan takhayul. Sehingga secara serampangan mereka bangga ketika mengatakan bahwa mereka ‘benci’ terhadap agama secara keseluruhan. Bahkan orang-orang yang menjadi anggota suatu gereja mengutuk gereja-gereja lainnya, kecuali gereja mereka sendiri (hlm. 456).
Dalam konteks kekinian buku ini dapat dimaknai sebagai kritik atas agama yang telah menempati posisi dalam ruang yang lebih luas dan hegemonik atas pemeluknya, bukan lagi pada wilayah personal. Persoalan agama yang mempublik bahkan cenderung sering dimanfaatkan oleh seseorang atau kelompok menjadikan sakralitas agama harus dikembalikan pada personalitas masing-masing.
Ketika agama tidak menjadi urusan pribadi, seringkali urusan politik menarik-narik agama yang tidak berdosa agar masuk ke dalam pergulatannya. Hal ini merupakan rahasia umum sebagai fakta empirik sehingga sudah saatnya publik harus mengakui fakta psikologis pada masing-masing manusia agar agama tidak semakin absurd.
Tidak berlebihan karya William yang hampir seratus tahun ini akan selalu kontekstual untuk masa sekarang dan mendatang, khususnya ketika nilai-nilai spiritual manusia semakin menggeser ke wilayah nilai-nilai material.*