Judul buku: Pangan- Dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan
Penulis: Susan George
Penerjemah: Magdalena Sitorus
Penyunting: Sandria Komalasan
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta, 2007
Tebal: xx+193 halaman
Ketimpangan dalam Peradaban Agrikultur
Oleh: Kholilul Rohman Ahmad
“Tanpa pertanian (pangan) dan masyarakat yang stabil, kita tidak akan punya banyak kesempatan untuk menikmati seni, musik, arsitektur, filsafat, sastra, dan politik. Kebudayaan dan pertanian berjalan seiring. Tetapi…”
Tahun lalu kita dikejutkan kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dinyatakan sebagai Kasus Luar Biasa (KLB). Beberapa waktu kemudian berita muncul kasus busung lapar dan bayi gizi buruk (malnutrisi) di berbagai daerah seperti di Jawa Tengah, Sukabumi, Malang, dan Lampung terekspos di media massa.
Harian nasional terbit di Jakarta (28 Mei 2007) menulis kasus busung lapar yang menyerang Indonesia mencapai angka delapan persen. Sesuai proyeksi penduduk Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik (2005), jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta. Berarti saat ini sekitar 1,67 juta anak balita menderita busung lapar yang sebagian besar berada di wilayah pedesaan.
Mengkaji kasus busung lapar di Indonesia tidak bisa lepas dari kegagalan kebijakan pangan nasional. Permasalahan ini menarik dicermati, terutama bagaimana kebijakan pemenuhan pangan masyarakat diterjemahkan oleh negara. Buku karangan Susan George ini secara spesisfik tidak bercerita tentang sistem penanganan pangan di Indonesia. Namun penjelasan tentang sistem politik pangan internasional dalam buku ini bisa menjelaskan mengapa kekurangan pangan terjadi di Indonesia, yang katanya, tanahnya subur dan kaya sumberdaya alam.
Pangan Komoditas Strategis
Mantan calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2004, Siswono Yudo Husodo, pernah mengatakan, pangan merupakan komoditas penting dan strategis. Karena pangan kebutuhan pokok manusia yang setiap saat di setiap permukiman perlu tersedia dalam jumlah cukup dengan mutu layak, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau masyarakat. Kecuali beras, untuk jenis pangan lain konsumsi per kapita per tahun rakyat Indonesia masih rendah.
Kata Siswono, konsumsi ini berpotensi meningkat dalam jumlah besar dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi dan kesejahteraan rakyat, serta pertambahan penduduk yang tinggi mencapai 1,6 persen per tahun. Inilah pasar pangan kita yang amat besar, perlu kita gunakan untuk memperkuat pertanian kita. Jika salah penanganan, pasar pangan akan dimanfaatkan oleh produsen pangan dari luar negeri.
Penyeragaman Pertanian
Kebijakan pertanian pemerintah sejak tahun 1960-an lebih diarahkan pada penyeragaman sistem pertanian dan pangan. Contohnya Revolusi Hijau, yaitu penggunaan bibit varietas unggul, pestisida, dan pupuk kimia serta jaringan irigasi untuk memacu produksi beras. Dampak lingkungan yang ditimbulkan Revolusi Hijau, dari pencemaran air dan tanah oleh bahan kimia pertanian hingga kehilangan varietas petani lokal, sudah banyak diteliti.
Namun perlu diingat bahwa dari awal kebijakan pertanian saja, yaitu padi, diasumsikan semua orang Indonesia makan beras sehingga padi menjadi perhatian, walaupun ada juga upaya mengembangkan jagung dan palawija melalui teknologi revolusi hijau. Sekitar 20 tahun lalu, pada 1984, pemerintah Indonesia mengumumkan berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Sampai sekarang beras menjadi isu yang menyita banyak perhatian, sehingga mengorbankan sumber pangan yang lain.
Maka tak heran, ketika terjadi rawan pangan dan gizi buruk di NTB, misalnya, pemerintah menanggapi dengan mengirim beras untuk orang miskin (raskin). Padahal NTB menghasilkan kacang-kacangan (leguminose) sumber protein dan jagung/umbi-umbian sumber karbohidrat. Menyimak pernyataan penduduk di BTB yang menyatakan bahwa dahulu bila terjadi kekurangan beras, penduduk makan jagung bahkan biji asam Jawa. Sebab beras bukan satu-satunya makanan pokok. Tetapi kini generasi muda dan anak-anak tidak mengenal makanan pokok kecuali beras sehingga kekurangan beras menjadi masalah bagi mereka (hlm ix).
Adanya Revolusi Hijau banyak membawa perubahan dalam sistem kehidupan dan sistem masyarakat kita. Buku ini menjelaskan, antara lain: Pertama, kita dapat hidup dalam masyarakat lebih besar dan stabil. Kedua, kita dapat melakukan jenis pekerjaan yang berbeda. Tradisi agrikultur modern memungkinkan kita memiliki keahlian khusus di luar pertanian. Ketiga, kita dapat berpikir tentang hal lain di luar makanan kita sehari-hari. Tanpa pertanian dan masyarakat yang stabil, kita tidak akan punya banyak kesempatan untuk menikmati seni, musik, arsitektur, filsafat, sastra, dan politik. Kebudayaan dan pertanian berjalan seiring. Keduanya menunjukkan adanya keseimbangan, kemapanan, dan satu keyakinan akan masa mendatang (hlm. 11).
Kelebihan tradisi agrikultur di atas jelas memberikan manfaat lebih besar. Tetapi kelebihan ini tidak cuma-cuma. Kita harus membayar dengan berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagian orang malah membayar lebih banyak dari orang lain. Sehingga pertanian bukan membawa kemakmuran, melainkan menambah kemelaratan.
Sejak manusia mulai menetap selalu ada segolongan orang yang mencoba memperoleh bahan makanan tanpa bekerja, yaitu dengan jalan menguasai tanah yang menjadi sumber makanan dan orang-orang yang mengolahnya (hlm. 38). Mereka, dengan kekuasaan yang dimilikinya, seolah-olah menjadi berhak atas makanan yang awalnya bukan untuk mereka. Mereka bahkan tetap memiliki makanan di musin paceklik, sekali lagi, tanpa bekerja mengolah tanah.
Lewat pertanianlah masyarakat mengenal pembagian kekayaan yang tidak merata (tanah dan bahan makanan adalah kekayaan) dan mulai mengenal pembagian masyarakat menjadi kelas penguasa dengan memiliki tanah dan kelas yang dikuasai. Kaum penguasa atau tuan tanah ini berpikir bahwa mereka harus mengamankan posisinya.
Maka, segeralah mereka membangun birokrasi dan memiliki para pengawal yang siap menjaga para petani tetap berada “di tempat mereka”. Sejarah menunjukkan bahwa para petani tidak pernah menjadi penguasa atas dirinya sendiri (hlm. 186).
Makna penting buku ini adalah untuk peringatan bagi manusia di bumi bahwa sistem yang sedang berjalan sangat timpang alias tidak adil. Buku ini tidak menggugat negara atau aparat-aparatnya. Hanya saja, negara dan aparat-aparatnya sering pragmatis dengan tidak membela petani yang tertindas melainkan malah mengikuti arus yang semakin memojokkan mereka.
Kholilul Rohman Ahmad, anggota Akademi Gunung Magelang
Penulis: Susan George
Penerjemah: Magdalena Sitorus
Penyunting: Sandria Komalasan
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta, 2007
Tebal: xx+193 halaman
Ketimpangan dalam Peradaban Agrikultur
Oleh: Kholilul Rohman Ahmad
“Tanpa pertanian (pangan) dan masyarakat yang stabil, kita tidak akan punya banyak kesempatan untuk menikmati seni, musik, arsitektur, filsafat, sastra, dan politik. Kebudayaan dan pertanian berjalan seiring. Tetapi…”
Tahun lalu kita dikejutkan kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dinyatakan sebagai Kasus Luar Biasa (KLB). Beberapa waktu kemudian berita muncul kasus busung lapar dan bayi gizi buruk (malnutrisi) di berbagai daerah seperti di Jawa Tengah, Sukabumi, Malang, dan Lampung terekspos di media massa.
Harian nasional terbit di Jakarta (28 Mei 2007) menulis kasus busung lapar yang menyerang Indonesia mencapai angka delapan persen. Sesuai proyeksi penduduk Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik (2005), jumlah anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 20,87 juta. Berarti saat ini sekitar 1,67 juta anak balita menderita busung lapar yang sebagian besar berada di wilayah pedesaan.
Mengkaji kasus busung lapar di Indonesia tidak bisa lepas dari kegagalan kebijakan pangan nasional. Permasalahan ini menarik dicermati, terutama bagaimana kebijakan pemenuhan pangan masyarakat diterjemahkan oleh negara. Buku karangan Susan George ini secara spesisfik tidak bercerita tentang sistem penanganan pangan di Indonesia. Namun penjelasan tentang sistem politik pangan internasional dalam buku ini bisa menjelaskan mengapa kekurangan pangan terjadi di Indonesia, yang katanya, tanahnya subur dan kaya sumberdaya alam.
Pangan Komoditas Strategis
Mantan calon Wakil Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2004, Siswono Yudo Husodo, pernah mengatakan, pangan merupakan komoditas penting dan strategis. Karena pangan kebutuhan pokok manusia yang setiap saat di setiap permukiman perlu tersedia dalam jumlah cukup dengan mutu layak, aman dikonsumsi, dan harga terjangkau masyarakat. Kecuali beras, untuk jenis pangan lain konsumsi per kapita per tahun rakyat Indonesia masih rendah.
Kata Siswono, konsumsi ini berpotensi meningkat dalam jumlah besar dengan meningkatnya pendidikan, pengetahuan akan gizi dan kesejahteraan rakyat, serta pertambahan penduduk yang tinggi mencapai 1,6 persen per tahun. Inilah pasar pangan kita yang amat besar, perlu kita gunakan untuk memperkuat pertanian kita. Jika salah penanganan, pasar pangan akan dimanfaatkan oleh produsen pangan dari luar negeri.
Penyeragaman Pertanian
Kebijakan pertanian pemerintah sejak tahun 1960-an lebih diarahkan pada penyeragaman sistem pertanian dan pangan. Contohnya Revolusi Hijau, yaitu penggunaan bibit varietas unggul, pestisida, dan pupuk kimia serta jaringan irigasi untuk memacu produksi beras. Dampak lingkungan yang ditimbulkan Revolusi Hijau, dari pencemaran air dan tanah oleh bahan kimia pertanian hingga kehilangan varietas petani lokal, sudah banyak diteliti.
Namun perlu diingat bahwa dari awal kebijakan pertanian saja, yaitu padi, diasumsikan semua orang Indonesia makan beras sehingga padi menjadi perhatian, walaupun ada juga upaya mengembangkan jagung dan palawija melalui teknologi revolusi hijau. Sekitar 20 tahun lalu, pada 1984, pemerintah Indonesia mengumumkan berhasil swasembada beras, bukan swasembada pangan. Sampai sekarang beras menjadi isu yang menyita banyak perhatian, sehingga mengorbankan sumber pangan yang lain.
Maka tak heran, ketika terjadi rawan pangan dan gizi buruk di NTB, misalnya, pemerintah menanggapi dengan mengirim beras untuk orang miskin (raskin). Padahal NTB menghasilkan kacang-kacangan (leguminose) sumber protein dan jagung/umbi-umbian sumber karbohidrat. Menyimak pernyataan penduduk di BTB yang menyatakan bahwa dahulu bila terjadi kekurangan beras, penduduk makan jagung bahkan biji asam Jawa. Sebab beras bukan satu-satunya makanan pokok. Tetapi kini generasi muda dan anak-anak tidak mengenal makanan pokok kecuali beras sehingga kekurangan beras menjadi masalah bagi mereka (hlm ix).
Adanya Revolusi Hijau banyak membawa perubahan dalam sistem kehidupan dan sistem masyarakat kita. Buku ini menjelaskan, antara lain: Pertama, kita dapat hidup dalam masyarakat lebih besar dan stabil. Kedua, kita dapat melakukan jenis pekerjaan yang berbeda. Tradisi agrikultur modern memungkinkan kita memiliki keahlian khusus di luar pertanian. Ketiga, kita dapat berpikir tentang hal lain di luar makanan kita sehari-hari. Tanpa pertanian dan masyarakat yang stabil, kita tidak akan punya banyak kesempatan untuk menikmati seni, musik, arsitektur, filsafat, sastra, dan politik. Kebudayaan dan pertanian berjalan seiring. Keduanya menunjukkan adanya keseimbangan, kemapanan, dan satu keyakinan akan masa mendatang (hlm. 11).
Kelebihan tradisi agrikultur di atas jelas memberikan manfaat lebih besar. Tetapi kelebihan ini tidak cuma-cuma. Kita harus membayar dengan berbagai persoalan dalam kehidupan. Sebagian orang malah membayar lebih banyak dari orang lain. Sehingga pertanian bukan membawa kemakmuran, melainkan menambah kemelaratan.
Sejak manusia mulai menetap selalu ada segolongan orang yang mencoba memperoleh bahan makanan tanpa bekerja, yaitu dengan jalan menguasai tanah yang menjadi sumber makanan dan orang-orang yang mengolahnya (hlm. 38). Mereka, dengan kekuasaan yang dimilikinya, seolah-olah menjadi berhak atas makanan yang awalnya bukan untuk mereka. Mereka bahkan tetap memiliki makanan di musin paceklik, sekali lagi, tanpa bekerja mengolah tanah.
Lewat pertanianlah masyarakat mengenal pembagian kekayaan yang tidak merata (tanah dan bahan makanan adalah kekayaan) dan mulai mengenal pembagian masyarakat menjadi kelas penguasa dengan memiliki tanah dan kelas yang dikuasai. Kaum penguasa atau tuan tanah ini berpikir bahwa mereka harus mengamankan posisinya.
Maka, segeralah mereka membangun birokrasi dan memiliki para pengawal yang siap menjaga para petani tetap berada “di tempat mereka”. Sejarah menunjukkan bahwa para petani tidak pernah menjadi penguasa atas dirinya sendiri (hlm. 186).
Makna penting buku ini adalah untuk peringatan bagi manusia di bumi bahwa sistem yang sedang berjalan sangat timpang alias tidak adil. Buku ini tidak menggugat negara atau aparat-aparatnya. Hanya saja, negara dan aparat-aparatnya sering pragmatis dengan tidak membela petani yang tertindas melainkan malah mengikuti arus yang semakin memojokkan mereka.
Kholilul Rohman Ahmad, anggota Akademi Gunung Magelang