Langsung ke konten utama

Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi


Prospek Islam Radikal untuk Demokrasi


Judul: Geneologi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi

Penulis: M Zaki Mubarak

Pengantar: M Syafii Anwar
Penerbit: LP3ES, Jakarta, April 2008

Tebal: xxxvii + 384 halaman

Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad

Publikasi: SUARA MERDEKA (Semarang) edisi Minggu 07 Juli 2008


Kekerasan mewarnai peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni 2008. Publik dikejutkan kehadiran tokoh kontroversial. Munarman namanya. Laki-laki asal Sumatera ini menjadi perhatian publik dalam waktu relatif singkat. Tiba-tiba seluruh media cetak-elektronik nasional dan lokal membahasnya. Pemberitaan terhadapnya seolah-olah di-setting untuk menegaskan agenda tertenhtu. Meskipun hal ini dibantah oleh pelaku media sendiri.

Namun anehnya, dalam kasus peringatan lahir Pancasila di Mona itu, AKBB (aliansi Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama) yang menjadi korban kekerasan malah tidak terkenal. Justru yang terkenal adalah pelaku kekerasan, yakni Munarwan yang mengklaim bertanggungjawab atas penyerangan ratusan anggota AKBB dengan bendera Laskar Pembela Islam (LPI).

Lalu pertanyaan publik muncul menyelidik: Ada apa dengan Munarman? Apa ini ada kaitan dengan upaya pengerasan dan penegasan fundamentalisme keagamaan (Islam) di Indonesia menjelang pemilu Pilpres 2009? Ikuti dan simak buku ini yang di dalamnya tidak secara langsung membahas Munarman. Lewat buku ini pembaca dapat menyelidiki latar belakang yang dilakukan Munarman. Buku ini juga menganalisis celah-celah fundamentalisme keagamaan (Islam radikal) yang bisa didapuk sebagai pendorong gerakan demokratisasi.

Fundamentalisme dalam Islam radikal yang coba digulirkan penulis bukan sekedar hendak menegaskan eksistensinya. Namun lebih dari itu bahwa substansinya adalah demi penegakan peradaban yang lebih baik dengan Syariat Islam. Dalam konteks demokratisasi tentu berpendapat secara teologis merupakan hak setiap warga negara dan memang dijamin undang-undang. Akan tetapi, mengapa selama ini perilaku dan langkah-langkah untuk mengangkatnya justru tidak mencerminkan asas demokratisasi itu sendiri?

Akar Fundamentalisme

Buku ini menyatakan, akar fundamentalisme Islam di Indonesia sebetulnya mempunyai tujuan mulia, yakni membangun bangsa dan Negara yang dengan itu bisa menyejahterakan rakyatnya. Dengan dasar-dasar Al-Quran para aktivis fundamentalisme, seperti Munarman, ingin agar Indonesia di mata dunia menjadi contoh penerapan syariat Islam. Akan tetapi, kekuatan yang dimilikinya belum seberapa kuat untuk mewujudkannya sehingga arah demokratisasi yang diharapkan adalah agar setidaknya menjadi lilin-lilin kecil di setiap sudut wilayah bangsa Indonesia.

Ada apa dengan fundamentalisme yang begitu militan gerak dan langkahnya? Buku ini menjelaskan, bahwa fundamentalisme yang berkembang dalam dasawarsa pertengahan hingga akhir abad ke-20 telah sangat lazim dihubungkan dengan fenomena yang berdimensi politik. Tidak sekedar sebagai ‘senjata’ untuk melawan kepungan modernitas, globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan sekuler yang semakin tidak terbendung, atau pun suatu kekolotan atas sistem nilai yang digmatis.

Fundamentalisme keagamaan juga memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek lain yang multidimensi, yang meliputi segi-segi budaya, sosial, politik, ekonomi, dan keagaman itu sendiri. Istilah fundamentalisme yang hampir selalu diiringi dengan kosakata seperti radikalisme, ekstremisme, dan bahkan anarkisme, telah menjadi suatu kategori pengetahuan tertentu untuk membedakannya dengan arus-arus kebudayaan dan keagamaan lain yang ‘rasional’ dan moderat (hlm. 15).

Berbagai fenomena kekerasan dan teror yang berlangsung itu telah semakin menambah rumit persoalan yang muncul dari ekses-ekses transisi politik yang seringkali penuh ketidakpastian. Dampak dari krisis ekonomi yang hebat dan derajat konfliktual yang keras serta berlarut-larut para elite politik nasional, baik di era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan kemudian Megawati bahkan Susilo Bambang Yudhoyono, telah mengakibatkan tidak cukupnya perhatian atas gejala-gejala radikalisasi yang makin subur di tubuh beberapa elemen Islam. Sebagai akibatnya banyak kebijakan pemerintah yang kemudian menjadi tidak efektif untuk membatasi ruang gerak elemen-elemen radikal tersebut.

Namun demikian, dalam konteks Indonesia banyak muncul penilaian bahwa intensitas konflik dan pertentangan telah melebihi ambang batas kenormalan atau di luar koridor kewajaran. Problematika transisi ini apabila tidak berhasil dikelola dan dikendalikan dengan baik, bukan mustahil akan menjadi malapetaka serius untuk keselamatan proses demokratisasi itu sendiri.

Wajah Baru Radikalisme

Benturan berbagai ide yang melibatkan elemen-elemen Islam sepanjang 1998-2005 muncul dalam berbagai aspek sosial, keagamaan, dan politik. Dalam hal ini yang mengemuka antara lain menanggapi soal presiden perempuan, pemberlakuan syariat Islam, keabsahan demokrasi, pluralisme beragama, makna jihad, hingga persoalan-persoalan politik dan teologi yang lain. Proses dinamis dalam perkembangan pemikiran kontemporer Islam di Indonesia dan perwajahan baru radikalisme dalam gerakan Islam yang semakin meningkat, tentu saja menarik untuk dicermati dengan seksama (hlm. 114-115).

Buku ini memotret satu dinamika penting yang berlangsung di masa transisi demokrasi, yakni pertumbuhan dan perkembangan elemen-elemen Islam radikal di Indonesia. Dalam tahun-tahun awal reformasi, berbagai kelompok Islam radikal naik daun, seiring proses transisi demokrasi yang makin terseok-seok. Di tengah kondisi masyarakat yang tidak kondusif, serta pecahnya konflik keagamaan di beberapa daerah, telah memberikan peluang bagi kelompok-kelompok Islam berhaluan radikal memainkan peran dominan dalam isu-isu nasional. Di sinilah peluang demokratisasi bisa diperankan kelompok Islam radikal.

Meskipun secara langsung Islam radikal tidak terlihat kontribusi demokrasinya karena mainstream media terlanjur mencibir dan menempatkan kelompok ini sebagai anti-demokrasi. Ditambah pola gerakan dan pengelolaan konflik inter dan antar kelompok oleh kalangan Islam radikal sering menguatkan asumsi itu. Tetapi Islam radikal punya celah kuat untuk demokratisasi.

Melalui buku ini kita akan diajak berkelana dengan sejuta gagasan tentang pentingnya menghangatkan fundamentalisme dalam komunitas kenegaraan tertentu karena dengan cara itu secara makro perlahan-lahan demokrasi akan mengalami peningkatan dan ending-nya berguna bagi sistem kenegaraan itu sendiri. Bila tidak begitu, setidaknya, kontribusi fundamentalisme Islam radikal berguna bagi penegasan pentingnya terus berjuang menegakkan demokrasi.

Kholilul Rohman Ahmad, Sarjana Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta


Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi