Langsung ke konten utama

Sistem Tanam Paksa di Jawa


Judul buku: Sistem Tanam Paksa di Jawa
Judul asli: Java Under The Cultivation System: Collected Writings (1992)

Penulis: Robert van Niel

Pengantar: Suyatno Kartodirdjo

Penerjemah: Hardoyo

Penyunting: Abdul Mun’im DZ., E Dwi Arya Wisesa

Penerbit: PT Pustaka LP3ES, Jakarta, 2003

Tebal: xvii+308 halaman termasuk indeks


Benih-benih Liberalisasi Ekonomi di Indonesia


Sejarah peradaban sosial di Pulau Jawa awal abad ke-19 pernah dilewati sebuah sistem ekonomi bentukan asing (Belanda) yang sangat mempengaruhi roda ekonomi rakyat. Namanya Sistem Tanam Paksa (bahasa Belanda: Cultuurstelsel, Inggris: Cultivation System). Meski saat penerapan sistem ini berbuah kontroversi, namun secara umum menunjukkan makna signifikan yang kuat bagi pengembangan ekonomi pertanian rakyat kelak. Sebelumnya para petani Jawa menanam tanaman hanya untuk kebutuhan lokal dan ekspor terbatas. Sejak diterapkan sistem ini pada tahun 1830 hingga 1870, petani berkesempatan menanam tanaman pertanian dan perkebunan untuk kebutuhan ekspor secara maksimal, seperti kopi, teh, cengkeh, tembakau, lada, kayu manis, pala, dan tebu (gula).
Salah satu pengaruh Tanam Paksa ini adalah pembangunan Pelabuhan “Pintu Belakang” Cilacap (Jawa Tengah). Sebagaimana dicatat Susanto Zuhdi dalam buku Cilacap (1830-1942), Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa (KPG, 2002), pemerintah kolonial Belanda memberi perhatian lebih kepada Pelabuhan Cilacap untuk mendukung distribusi atas produksi hasil bumi komoditas ekspor di daerah pedalaman karesidenan Kedu, Banyumas, Surakarta, dan beberapa daerah di Jawa Tengah yang menjadi pusat pelaksanaan Tanam Paksa.
Akibat Tanam Paksa pemerintah kolonial mengembangkan potensi ekonomi dengan membuka jaringan rel kereta api dari Yogyakarta ke Cilacap dan tersambungnya Cilacap dengan Cicalengka (1887-1930) untuk memperlancar kegiatan ekspor. Tak pelak, Sistem Tanam Paksa telah mengantarkan masyarakat Jawa (baca: Indonesia) pada pengenalan benih-benih sistem liberalisasi ekonomi dalam jaringan perdagangan internasional.

Kontroversi Nilai Cultuurstelsel
Buku ini berisi sejarah pelaksanaan Sistem Tanam Paksa dalam sudut pandang kontroversi. Mengapa kontroversi? Selama ini opini umum yang dipublikasikan cenderung menilai negatif penerapan Tanam Paksa. Maklum, penelitian itu disusun berdasarkan perspektif moral. Sistem Tanam Paksa dinilai menjadi penyebab kelahiran demoralisasi rakyat Jawa sehingga mengakibatkan penderitaan rakyat yang dibebani sistem ini. Akibat sistem ini, misalnya, melahirkan disintegrasi desa dan komunalisasi kepemilikan tanah.
Padahal, tak bisa dipungkiri, banyak keuntungan dan bermakna positif dari segi ekonomi dalam rangka meningkatkan taraf hidup material rakyat. Lain kata, menurut pandangan kedua, Sistem Tanam Paksa adalah berkah yang menguntungkan rakyat. Misalnya, rakyat menjadi lebih kreatif dalam bertani dan memperkaya kebudayaan bercocok tanam dengan berbagai macam jenis tanaman.
Di tengah kontroversi itu, Robert van Niel melalui buku yang semula berjudul Java Under The Cultivation System (1992) ini mencoba menengahi-menjembatani kedua pandangan berseberangan itu dengan membeberkan proses sejak perencanaan hingga pelaksanaan Tanam Paksa di Jawa. Namun karena tipisnya batas antara positif-negatif untuk menilai efek Sistem Tanam Paksa ini, maka tak bisa dipungkiri subjektifitas Niel ternyata condong pada pandangan kedua, yakni secara eksplisit ia menyetujui bahwa Cultuurstelsel sebagai berkah karena di kemudian hari sangat berguna bagi peningkatan taraf kehidupan masyarakat petani.
Sebab, menurut Niel, sistem ini menjadi bagian dari kristalisasi pola perpolitikan dan perekonomian kolonial di Hinda Belanda (Indonesia) dan juga turut memainkan peran dalam pembentukan masyarakat Indonesia modern. Apalagi dampak dari penanaman tanaman dagang ekspor di Jawa pada masa Tanam Paksa memunculkan kekuatan rakyat untuk menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan yang diakibatkan oleh keterbukaan terhadap perniagaan komoditas pertanian skala dunia yang semakin meningkat (hlm. 257). Lalu ia pun bertanya, “Apakah akan terjadi perbedaan/perubahan dalam perkembangan ekonomi di Jawa jika Sistem Tanam Paksa tidak pernah diperkenalkan (baca: dipaksaberlakukan)? (hlm. 260).

Gagasan Awal Cultuurstelsel
Tentang gagasan awal diberlakuan sistem ini, Niel menjelaskan, kurun waktu sampai tahun 1830 menunjukkan banyak perubahan kebijakan politik pemerintahan Eropa di Jawa. Dengan menyebut beberapa nama penting seperti Deandeles, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus (Van den Bosch) mengingatkan pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan mendatangkan keuntungan. Tetapi dalam semua strategi tersebut ada prinsip dasar yang tidak berubah. Prinsip ini secara luas dapat disamakan dengan istilah liberal, sebagaimana yang dipahami pada masa kemudian. Namun liberalisasi tersebut hanya terpaku pada bidang politik kolonial (hlm. 112).
Seluruh tata pemerintahan Eropa di Jawa terlihat semakin liberal sampai tahun 1830. Terutama setelah 1816, rekrutmen pegawai-pegawai muda yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan lebih tinggi biasanya harus melalui rekomendasi keluarga tokoh liberal, kelas menengah, atau kaum patriot di Negeri Belanda. Sayangnya pola ini gagal. Kegagalan dipengaruhi oleh pola paksaan dan kekuasaan tradisional di bagian tertentu. Pulau Jawa tidak menerima prinsip itu sebagai jalan keluar mengatasi penyakit ekonomi.
Lapisan atas elit tata-pemerintahan Eropa penuh dengan rasa optimis bahwa suatu saat konsep liberal akan berhasil diwujudkan (hlm. 113). Namun kepastian hukum tidak berjalan normal sehingga hancur idealisasi yang dikonsepsikan (hlm. 122). Terlebih semakin tinggi tingkat formalisme pemerintahan yang diikuti oleh kelemahan kendali kekuasaan terhadap daerah-daerah di tingkat karesidenan dan kabupaten (hlm. 127).

Dua Keuntungan
Liberalisasi politik Eropa di Hindia Belanda tidak meningkatkan keuntungan ekonomi bagi Negeri Belanda. Terlebih awal abad ke-19 Belanda harus menghadapi Perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro (1825-1930) menguras habis kas negara. Di tengah krisis ini muncul Van den Bosch (van du Bos) membawa solusi berupa Sistem Tanam Paksa. Bosch berpandangan, orang Jawa tidak malas. Mereka kreatif. Namun untuk lebih maju mereka harus diberi pemahaman bekerja secara efisien dan produktif agar kemudian dapat menguntungkan Belanda. Dan, memang, Sistem Tanam Paksa diterima sebagai jawaban untuk mengatasi persoalan pelik keadaan keuangan Negeri Belanda. Selama 40 tahun (1830-1870) Bosch membusungkan dada. Ia dengan girang merasa mendapatkan dua keuntungan dengan kebijakannya itu. Pertama, bisa memberikan pemasukan besar-besaran ke kas Belanda. Kedua, ikut memajukan kebudayaan bagi rakyat Jawa.*

Kholilul Rohman Ahmad, Pustakawan Penikmat Kebudayaan tinggal di Magelang, Jawa Tengah

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi