Langsung ke konten utama

Sejarah Modern Awal Asia Tenggara

Judul buku: Sejarah Modern Awal Asia Tenggara
Judul asli: Charting The Shape of Early Modern Southeast Asia (Thailand, 1999)
Penulis: Anthony Reid
Penerjemah: Sori Siregar, Hasif Amini, Dahris Setiawan
Pengantar: RZ Leirissa
Penerbit: Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2004
Tebal buku: xxiv+398 halaman termasuk indeks


Pergulatan Kawasan Rempah-Rempah

Asia Tenggara merupakan kawasan strategis dalam menyelesaikan dilema krusial sejarah modern kewilayahan regional tahap awal. Tetapi apakah ini memang benar-benar sebuah kawasan? Pertanyaan bernada meragukan ini sering dikemukakan beberapa pengamat kewilayahan. Sebab berbeda dengan Eropa, India, Dunia Arab, Cina, bahkan seluruh Asia Timur yang “terpengaruh budaya Cina” (sinicized), Asia Tenggara tidak mempunyai persamaan agama, bahasa, atau kebudayaan klasik (kecuali negeri yang bersinggungan langsung dengan India) yang besar dan tidak pernah menjadi bagian dari sebuah negara (polity) tunggal.

Namanya saja diberikan pihak luar untuk memudahkan mengingat secara geografis, yang kemudian diganti dengan istilah-istilah lain yang bahkan jauh lebih tidak memuaskan seperti India Jauh (Futher India) atau Indo-Cina (hlm. 4-5). Namun demikian, menurut Anthony Reid, meskipun identitas Asia Tenggara “samar-samar”, ia memainkan peran sangat penting pada “periode luar biasa” abad ke-15 dan ke-17.

Perluasan perniagaan global “abad ke-16 yang panjang” sangat mempengaruhinya. Apalagi sumber rempah-rempah yang dibutuhkan dunia internasional tersedia melimpah di kawasan ini. Seluruh kawasan air dilewati rute perdagangan hingga muncul lonjakan aktifitas maritim Cina pada abad ke-15. Sumber rempah-rempah serta lada mendorong orang Spanyol berangkat ke Filipina dan orang Purtugal berlayar ke India sampai ke Asia Tenggara.


Di luar persoalan ekonomi, perubahan-perubahan masuk menembus sistem kepercayaan dan sistem budaya bahkan lebih mendalam. Islam dan Kristen menjadi agama dominan di Kepulauan Asia dan di beberapa kantong Daratan Asia, sementara persekutuan Buddhisme diubah oleh negara-negara terpusat di Birma, Siam, Laos, dan Kamboja. Sekitar tahun 1400 sampai 1700 keyakinan universalis berdasarkan kitab suci keagamaan menguasai seluruh wilayah itu.

Akhirnya mereka membuat pemisahan tegas antara sebuah wilayah Islam di selatan, ortodoksi politik Konfusius di Vietnam, benteng utama umat Buddha Therevada di bagian daratan sisanya, dan penganut Kristen di Filipina. Dalam proses perubahan kepercayaan itu pun terdapat keterbukaan yang sama terhadap berbagai pemikiran dari luar. Dalam pandangan Reid (penulis), fakta penting Asia Tenggara menjadi sebuah kawasan strategis adalah sebagai pembatas yang memisahkan Cina dan India secara signifikan daripada tapal batas internal lainnya (hlm. 6).

Maka tak heran jika kemudian tidak ada kawasan di Asia yang menderita secepat atau sedalam akibat campur tangan Eropa. Memang, di mata Eropa peran mereka kecil. Namun pemain-pemain di pinggiran kehidupan kawasan berjalan tanpa henti. Mereka mengubah keseimbangan yang rapuh antara perniagaan dan kerajaan. Seperti halnya Jepang, bahkan lebih mendadak, semua negeri di Asia Tenggara, menemukan sisi negatif dari perluasan perniagaan global dan kemajuan pesat di bidang teknologi militer. Berbeda dengan Jepang, mereka tidak dapat menyekat diri dari perluasan dan kemajuan itu tanpa perubahan mendasar pada sistem politik mereka (lihat, Bab 7 tentang Keluarga Agung Abad Ke-17, hlm. 165-203).

Alhasil, Asia Tenggara tempat pluralisme yang berubah-ubah. Negara-negara bangkit dan runtuh relatif sering. Periode modern tahap awal menyaksikan kebangkitan banyak negara yang kemudian membentuk identitas modern Asia Tenggara, baik nasional maupun etnis. Dalam setiap kasus, teknik-teknik baru di bidang kemiliteran memainkan peran yang memungkinkan para penguasa dinamis untuk naik ke puncak kekuasaan (hlm. 230). Itulah keunikan kawasan Asia Tenggara.

Buku ini berisi analisis-analisis Anthony Reid tentang beberapa faktor kebangkitan Asia Tenggara modern. Setidaknya ada dua faktor penyebab utama. Pertama, kedatangan Islam berbau mistik yang telah tersaring di India menggantikan agama mistik terdahulu (Hindhu-Buddha) lebih diterima masyarakat agraris-maritim sebagai jawaban bagi “kehidupan pasca-dunia”. Islam diterima sebagai “jawaban”. Pengaruh ini sangat besar terutama karena didukung cara transformasi melalui arus perniagaan yang ketika itu menjadi penopang utama dinamika sosial-ekonomi “kawasan rempah-rempah” ini.

Kedua, tingginya kebutuhan komoditas rempah-rempah bagi masyarakat Eropa menjadikan masyarakat di kawasan ini dinamis. Meskipun faktor kedua ini kental warna eksploitasi pihak kolonial terhadap pribumi (tradisi kolonialisme Eropa menggeliat hingga memecah-belah kawasan Asia Tenggara yang kuat menjadi lusinan negara kolonial dengan batas geografis yang jelas), namun hal ini menyebabkan tumbuhnya nasionalisme. Alhasil, kolonialisme dan nasionalisme merupakan faktor lanjutan dalam memantapkan berbagai pranata dan identitas kesatuan kewilayahan Asia Tenggara (hlm. 53).

Dalam buku ini dapat disimak keterangan Anthony tentang sejarah Campa yang mempengaruhi sistem kelautan di Asia Tenggara abad ke-14, bangkit-runtuhnya jaringan niaga laut Cina-Jawa abad ke-15, bangkit-runtuhnya Ayutthaya sebagai pusat perdagangan regional abad ke-16, kebangkitan Makassar abad ke-17, sistem perbudakan (budak sebagai simbol kekayaan dan komoditas dagang) di Filipina, Bali, Batavia, dan Palopo Sulsel abad ke-16, asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara, hingga memudarnya Asia Tenggara (akibat kesalahan manusia atau kehendak Tuhan?) karena bangkitnya Barat.

Kata RZ Leirissa dalam pengantar, buku Anthony Reid ini sangat informatif tentang kebangkitan Asia Tenggara. Namun Reid kurang detail menjelaskan faktor-faktor penyebab kemundurannya. Reid hanya mengulas faktor kemundurannya karena jatuhnya Makassar (1669) dan Banten (1682) ke tangan maskapai perdagangan raksasa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) serta kelemahan struktur sosial yang ditandai kuatnya sistem perbudakan. Buku ini berguna sebagai pembacaan bagi peningkatan hubungan diplomatik negara-negara yang tergabung dalam ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sehingga cocok dibaca oleh para diplomat yang aktif di dalamnya.*

Kholilul Rohman Ahmad, Sarjana filsafat penikmat kebudayaan asli Payaman, Magelang, Jawa Tengah

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi