Langsung ke konten utama

Menggugat Tradisi-Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU



  • Judul: Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU
  • Editor: Zuhairi Misrawi
  • Pengantar: Prof Dr Nurcholish Madjid dan KH Masdar F Mas’udi
  • Penerbit: Penerbit Buku Kompas, Cet. I, September 2004
  • Tebal: xxviii+298 halaman tanpa indeks

Pergulatan Pemikiran di Tubuh NU

Tahun 2003 pada bulan Oktober, Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Muktamar Pemikiran Islam di NU (MPI-NU) di Situbondo, Jawa Timur. Forum ini menjadi majelis pertukaran dan perdebatan pemikiran Islam di NU di mana hasilnya termuat lengkap dalam buku Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU ini.

Laode Ida dalam NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (2004) menyebut langkah semacam ini sebagai progresif. Menurut Masdar F Mas’udi, progresifitas NU tak lepas dari nalar liberalitas. Sebab, setidaknya, dalam dua puluh lima tahun belakangan ini NU intens menggunakan cara pandang Islam bukan sebagai ideologi melainkan sebagai konsep etika transendental-fundamental, sebagaimana dideklarasikan dalam MPI NU. Kebanyakan, progresifitas ini diperlihatkan oleh kaum mudanya.

Berbeda konsep ideologi, Islam sebagai konsep dan kesadaran etis bersikap kritis terhadap kekuasaan dan sistem sosial (ekonomi, politik) yang dibangun dengan interes kekuasaan sebagai tujuan. Bahwa kekuasaan sebagai realitas sosiologis tidak seharusnya dipandang sebagai ‘syahwat’ untuk kemudian diperebutkan dengan segala cara.

Maka diskusi dalam MPI NU dibahas visi Islam sebagai konsep etika dalam subtopik ini, antara lain: epistemologi konsep baik buruk; kedudukan nalar (aql) dan wahyu (naql) sebagai sumber otoritas yang berwenang memutuskannya. Metodologi pemahaman teks (nash) yang dapat menangkap pesan-pesan etik-moral dari agama yang berbeda dengan pesan-pesan ideologis yang hanya mampu menangkap pesan hukum (legal) yang cenderung eksklusif; dan kerangka strategi transformasi sosial yang bermuara pada langkah-langkah praksis pembebasan (hlm. xxiv-xxv).

Di masa reformasi NU menunjukkan identitas sebagai kantong pemikiran Islam yang cukup berwibawa. Bukan hanya itu, pemikiran-pemikiran tersebut bermetamorfosis menjadi kekuatan transformatif. Pemikiran keagamaan progresif komit melakukan pemberdayaan dan kerja-kerja pembebasan. Menurut Zuhairi Misrawi, secara kultural, pemikiran progresif di lingkungan NU merupakan produk pergulatan NU dengan masyarakat sipil (civil society) akibat kembali ke khittah, terutama mendorong NU menjadi lokomotif civil society di Indonesia. Bukan hanya itu, NU telah mempertahankan dan mengembangkan watak kemoderatan dan kerakyatan.

Kenyataan ini bermula dari pergulatan antara agama dan realitas yang dinahkodai NU menginspirasikan dialektika dinamis dan fungsional antara yang profan dan sakral. Sebab Islam tidak hanya dipahami sekumpulan nilai yang melangit dan mengawang-awang, melainkan ajaran yang terlibat dalam pergulatan realitas dan problem kemanusiaan. Di sinilah watak Islam bersifat transformatif, moderat, dan progresif sebagai upaya mengakomodasi masyarakat-masyarakat lokal agar mendapatkan ruang yang sama dalam konteks mengekspresikan diri, berdemokrasi (hlm. 5) dan, kata Masdar F Mas’udi, memandang beragama dari realitas dan problem kemanusiaan (hlm. 18).

Tafsir atas Islam, sebagaimana dilakoni anak muda NU dalam buku ini, merupakan salah satu peran yang bisa dilakukan terhadap doktrin-doktrin keislaman. Tradisi berpikir dan berjihad sudah dilakukan oleh ulama sejak dulu, dan apa yang dilakukan sebenarnya melanjutkan tradisi mereka. Di sinilah mereka mencipta ruang berpikir secara bebas mengacu hadits Nabi SAW: “jikalau ijtihad itu benar, maka sudah barang tentu kita mendapat dua kehormatan. Tapi bila sebaliknya, salah, toh masih dapat satu.”

Dengan demikian terlihat visi kerakyatan bukan sekedar membalikkan teosentrisme ke antroposentrisme, tetapi juga mengupayakan pemahaman dan sikap keberagamaan yang lebih fleksibel. Sehingga kehadiran sosiologi, antropologi, filologi, biologi, dan ilmu-ilmu lain untuk menyelesaikan pelbagai persoalan kontemporer sangat dibutuhkan dengan tetap berada dalam koridor tanpa meninggalkan tradisi (turats) (hlm. 177).

Menariknya, buku ini tidak berisi nalar pemikiran NU yang satu arah alias hegemonik, namun tetap mengacu pada sifat dinamis dan inklusif sebagaimana terekam dalam buku yang terbit menjelang Muktamar ke-31 di Solo (mulai 28 November 2004). Buku ini menjadi sebuah dokumentasi yang sangat akomodatif sebagai upaya menggalang kekuatan melalui gerakan pemikiran, bukan gerakan kekerasan dan atau kekuasaan.* -kholilulrohman@yahoo.ca

  • Keterangan foto: KH Muzakki Saifurrahman sedang menelaah sebuah kitab kuning sebagai sumber rujukan dalam sebuah acara bahtsul masail fiqhiyyah dengan bahasan "apakah hadiah haji mewajibkan penerimanya wajib haji?" di Masjid Jami An-Nur Karanggeneng, Payaman, Magelang, Jawa Tengah, Januari 2007

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi