Langsung ke konten utama

Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam


Islamic Education dalam Jepitan Globalisasi

Judul buku: Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M Naquib Al-Attas

Judul asli: The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Penulis: Wan Mohd Nor Wan Daud
Penerjemah: Hamid Fahmy, M Arifin Ismail, dan Iskandar Arnel

Penyunting: Abd Syukur Dj.
Penerbit: Mizan, Bandung, Juli 2003
Jumlah halaman: 552 muka

Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah menciptakan manusia yang baik, seorang manusia beradab dalam pengertian yang komprehensif. Pendidikan adalah pengenalan dan pengakuan mengenai tempat sesuatu sesuai dengan tatanan penciptaan yang ditanamkan secara progresif ke dalam diri manusia sehingga menggiiring pada pengenalan dan pengakuan Tuhan dalam tatanan wujud dan maujud.


Tradisi pemikiran Islam terhadap aktifitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang ini dapat berarti tajdid, yang bermakna hakikatnya selalu berorientasi pada pemurnian (refinement) yang bersifat kembali pada ajaran asal, dan bukan adopsi pemikiran asing. Kembali ke ajaran asal tidak selalu berarti kembali ke corak kehidupan zaman Nabi Muhammad Saw, tetapi harus dimaknai secara konseptual dan kreatif. Maka sesuai dengan makna Islam itu sendiri, tajdid atau ishlah, seperti didefinisikan Syed M Naquib Al-Attas, objek pemikir buku ini, memiliki implikasi pembebasan.

Pembebasan di sini berarti: Membebaskan manusia dari belenggu tradisi magis, mitologis, animistis, dan kultur kebangsaan yang bertentangan dengan Islam; pembebasan manusia dari pengaruh pemikiran sekuler terhadap pikiran dan bahasanya, atau pembebasan manusia dari dorongan fisiknya yang cenderung sekuler dan tidak adil pada fitrah atau hakikat kemanusiaanya yang benar (h. 335).

Dalam buku ini, Wan Mohd menyatakan, Al-Attas tidak hanya menyodorkan temuannya mengenai penyebab kemundutran umat Islam dalam konsep-konsep yang jelas, tetapi juga memberikan langkah konkret untuk mengaplikasikannya dalam bentuk lembaga pendidikan yang didesain sebagai langkah-langkah kuratif untuk itu. sebagai perangkat lunaknya, misalnya, dia telah siap dengan konsep-konsepnya mengenai metafisika Islam, filsafat ilmu, filsafat pendidikan, konsep manusia, konsep kebahagiaan, konsep agama, dan moralitas yang semuanya menggambarkan pandangan hidup Islam.


Oleh karena itu, di lembaga pendidikan ini pandangan hidup Islam ditanamkan kepada para mahasiswanya sehingga mereka dapat mengetahui relevansinya dalam bidang-bidang keilmuan Islam lainnya. Di sini, konsep pada proses islamisasi juga dipahami secara akademis dan para mahasiswa diarahkan agar mengetahui bagaimana membedakan kebenaran (al haqq) dan keburukan (al bathil), kebetulan (al shawab) dan kesalahan (al khatha’), ilmu dan informasi, dan lain-lain (hlm. 23).

Namun demikian, tampaknya Al Attas lebih cenderung memikirkan pendidikan. Mengapa pendidikan? Pendidikan adalah salah satu sarana terpenting dalam usaha pembangunan sumberdaya manusia dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannnya akan menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban.
***


Di antara konsep pendidikan Al Attas yang fundamental, yang dikemukakan dalam buku ini, adalah konsepnya mengenai ta’dib. Baginya, masalah mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai-nilai adab dalam arti luas. Hal ini lebih disebabkan oleh rancunya pemahaman konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Al Attas cenderung menggunakan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan Islam sebab jika konsep ta’dib ini diterapkan secara komprehensif, integral, dan sistematis dalam praktik pendidikan Islam, pelbagai persoalan pengembangan sumberdaya manusia Muslim diharapkan dapat diatasi.

Lagi pula, dalam sejarah Islam proses pendidikan Muslim lebih cenderung ke pengertian ta’dib daripada tarbiyah atau ta’lim. Alasan yang lebih mendasar lagi adalah adab berkaitan erat dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.

Konsep pendidikan Islam yang hanya terbatas pada pemaknaan tarniyah dan ta’lim ini telah dirasuki pandangan hidup Barat yang berlandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab menjadi semakin kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiah. Kekeburan makna adab atau kehancuran adab tersebut mengakibatkan kedzaliman, kebodohan, dan kegilaan.

Dalam konsep ta’dib ini kita dapat memahami hubungannya dengan temuan Al Attas mengenai problem ilmu pengetahuan sebagai penyebab kemunduran umat. Problem ini tidak berkaitan dengan masalah buta huruf atau persoalan kebodohan orang awam, tetapi ilmu pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang tindih, atau dikacaukan oleh pandangan hidup asing, khususnya Barat. Akibatnya ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki.

Rumusannya seperti membentuk lingkaran setan: jika adab adalah prasyarat bagi penularan ilmu pengetahuan, sebaliknya, rusaknya ilmu pengetahuan dapat dilacak dari rusaknya adab. Artinya, kerancuan berpikir, korupsi ilmu pengetahuan, pelacuran ilmiah, adalah akibat-akibat yang dihasilkan oleh rusaknya adab.
Kerusakan ini akan menghambat masyarakat adalah melahirkan pemimpin yang berkualitas di segala bidang dan lapisan, atau sebaliknya memaksa masyarakat melahirkan pemimpin gadungan yang cenderung menghancurkan masyarakat daripada membangunnya. Semua itu berasal dari kualitas lembaga pendidikan yang telah kehilangan konsep adab (h. 198).
***

Buku ini berisi pemikiran cendekiawan Muslim yang telah lama memahami secara akurat akar kebudayaan dan pandangan hidup Islam dan Barat. Berdasarkan itu pula ia dapat mengidentifikasi penyebab kemunduran umat Islam kemudian memberikan solusi konseptualnya secara tepat.

Melalui buku ini dapat ditangkap bahwa Al Attas mampu menemukan bahwa penyebab kemunduran umat Islam adalah akibat lemah dan rusaknya ilmu pengetahuan (corruption of knowledge) sehingga tidak bisa lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.
Buku ini mencoba mendudukan kembali konsep pendidikan Islam dalam tradisi intelektual Islam yang saat ini banyak digugat dan dorongrong oleh arus gelombang globalisasi dalam wajah pemikiran modernis maupun postmodernis, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim.

Oleh sebab pentingnya sebuah gagasan pemikiran, ia mencoba mengolah konsep pendidikan agar dapat dipraktikkan dengan meramu pemikiran falsafah, tasawuf, dan manajemen cetusan Al Asy’ari, Ibn Sina, Al Ghazali, Al Farabi, Fakhruddin Arrazi, Mulla Sadra, Sabzawari, dan lain-lain. Dengan membaca buku ini kita diajak menyelami sebuah gagasan yang menantang agar dikaji secara lebih mendalam. --kholilulrohman@yahoo.ca

Foto/keterangan: Dua orang santri terlihat sedang saling telaah kitab kuning di depan langgar Asrama Perguruan Islam Pondok Pesantren Salafiyyah Tegalrejo Magelang (2007).


Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi