Langsung ke konten utama

Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains



Judul buku: Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains?
Penulis: Huston Smith
Penerjemah: Ary Budiyanto
Penyunting: Trisno S. Sutanto
Penerbit: Mizan, Bandung, Cet. I, Februari 2003
Tebal Buku: xxviii + 442 termasuk indeks
Peresensi: Kholilul Rohman Ahmad

DILEMA AGAMA DI TENGAH KEJAYAAN SAINS

Gempuran ilmu pengetahuan bagi kehidupan umat manusia menjadikan agama berada pada posisi yang dilematis. Kejayaan ilmu pengetahuan dewasa ini yang mampu memberikan jawaban terhadap berbagai problem yang dihadapi manusia menjadikan agama seolah “tak berguna” lagi. Agama seolah “rapuh” menghadapi sains yang mengalami perkembangan secara menakjubkan.

Huston Smith melalui buku yang aslinya berjudul Why Religion Matters: The Fate of The Human Spirit in an Age of Disbelief yang diterjemahkan menjadi Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains? ini memberikan gambaran secara sosiologis atas keberadaan agama di tengah gempuran sains itu. Melalui buku ini ia bermaksud mengajak pembaca menjadikan buku ini sebagai alat baca untuk memandang ke belakang, ke akar-akar nenek moyang kita dengan harapan bisa untuk memahami kebingungan masa sekarang.

Tampaknya, tak sulit untuk menyimpulkan bahwa abad sebagai abad krisis spiritual ketika agama mengalami guncangan yang maha dahsyat itu. Meskipun modernitas sains diakui sangat miskin secara metafisis, namun nyatanya agama tercengang melihat capaian-capaianya itu. Sebab kemodernannya itu menjadikan metode ilmiah sebagai “metode pemahaman yang suci”. Sehingga ketika metode itu tidak mengakui apapun tanpa komponen material, realitas non-material mulanya tersingkir dan bahkan (ketika posisi itu mengeras) dinafikan keberadaanya (hlm. 19).

Mengapa asumsi itu muncul?

Sebab Tuhan atau kebenaran agama digambarkan oleh Smith dengan cahaya yang berada di ujung terowongan, tetapi sangat sulit untuk dijangkau karena ternyata terowongan itu terlalu panjang dan kuat. Semakin kita lama berada dalam terowongan tersebut, semakin kita terbawa dalam pengaruh modernisasi -- dalam pengertian saintisasi, mendewa-dewakan ilmu pengetahuan empiris -- tapi hal ini tidak akan pernah memadamkan cahaya yang ada di ujung terowongan ini.

Cahaya di ujung terowongan adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan pembenaran dari siapa pun dan apa pun. Kebenaran yang dimilikinya adalah absolut sebagaimana kebenaran absolut bahwa matahari adalah bersinar terang. Kesimpulan dari sebuah seminar atau diskusi ilmiah yang menghasilkan bahwa “Eksistensi Tuhan tidak dapat dibuktikan!” adalah luar biasa.

Akan tetapi, hal ini menurut Smith merupakan cahaya murni dari kekosongan yang disebut Goethe sebagai “penderitaan cahaya”. Ia menambahkan dengan mengutip salah satu sajak Jalaluddin Rumi bahwa, “bukan Mentari yang kaulihat, tetapi cermin dari Sang Mentari di balik cadarnya.” Kemandirian kebenaran yang dimiliki oleh Tuhan ini, dalam konsep Ibn Taymiyah disebut dengan kebenaran objektif yang meskipun tidak dibuktikan dengan pengakuan manusia sekalipun, Tuhan tetaplah ada (lihat, bab 2-7 tentang “Terowongan”, hlm. 23-153).

Saintisme Bukan Sains

Target utama yang dipaparkan oleh Smith dalam buku ini ialah ingin menyampaikan pemikiran bahwa saintisme bukanlah sains. Smith mendefinisikan saintisme sebagai klaim terhadap sains yang memiliki dua ciri; pertama, metode ilmiah sebagai metode yang dapat diandalkan. Kedua, soal-soal yang ditangani sains, yakni entitas material, sesuatu hal paling fundamental yang ada.

Ia menambahkan, materialisme merupakan bentuk keyakinan filosofis dan bukan sebuah kesimpulan saintifik (ilmiah). Tentu saja, jika sains ingin bersifat selektif, ia tidak boleh melakukan generalisasi bahwa pandangannya tentang realitas bersifat menyeluruh. Dalam hal evolusi khususnya, terdapat asumsi-asumsi filosofis yang mendukung teori tersebut ketimbang bukti-bukti ilmiah.

Dalam hal ini, teori evolusi lebih banyak dibesar-besarkan dan disainskan dengan asumsi-asumsi filosofis yang tidak dapat memperlihatkan bukti-bukti dengan metode ilmiah yang seharusnya menjadi tahapan paling penting dalam proses saintifikasi (pengilmiahan). Singkatnya, Smith meyakini bahwa teori evolusi adalah produk saintisme dan bukan sains. Sains bukanlah sesuatu yang harus dikonfrontasikan dengan agama dan sebaliknya, melainkan asumsi-asumsi yang tidak memiliki metodologi yang jelas dengan berdiri pada sains hendaknya tidak menambah buramnya hubungan antara sains dengan agama tersebut.

Agama sebagai sesuatu yang bersifat metafisis hanya membutuhkan keyakinan untuk menghadirkannya dalam kehidupan manusia dan hal ini berbeda dengan sains yang membutuhkan kajian dan metode yang cocok untuk dapat diterima oleh manusia secara keseluruhan, apalagi dalam alam modernitas seperti ini. Tindakan saintisme -- pembelaan yang membabi-buta terhadap salah satu proposisi sains -- hanya akan merusak sains itu sendiri di samping menolak agama sebagai sesuatu hal yang banyak dihubungkan dengan hal-hal yang non-empiris.

Buku yang terjemahannya kurang sempurna ini (tidak seperti terjemahan Mizan lain yang pas pemakaian gaya bahasa) tidak hanya memuat pemikiran Huston Smith, tetapi juga dilampirkan di dalamnya beberapa tanggapan dan sanggahan terhadap pemikiran Smith. Sebuah buku yang sangat menarik dan dialektis.

Misalnya, terhadap buku ini Gregory R Peterson mengomentari bahwa paparan Smith tentang sains dan saintisme dalam beberapa hal bermasalah. “Smith memberikan definisi yang sempit atas sains. Perlakuannya terhadap teori-teori dan klaim-klaim saintifik tertentu terkesan angkuh”, kata Peterson (hlm. 392-393).

Apapun komentar dan tanggapan pengamat, gagasan yang ditawarkan Smith ini sesungguhnya sedang mencoba menyadarkan kita akan “bahaya” sains yang dapat benar-benar meruntuhkan eksistensi agama. Memang analisis yang dikemukakan Smith terasa berlebihan, namun data yang dipaparkan baru sebagian dari banyaknya data tentang kecenderungan sains akan ‘menggantikan’ peran agama.

Karya Smith --yang pernah menulis buku monumental best-seller di seluruh dunia bertajuk The World's Religions yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Agama-agama Manusia-- ini sangat patut diapreasisi oleh masyarakat Indonesia yang cenderung bergerak ke arah modernisasi berbasis sains. *

Kholilul Rohman Ahmad, staf Peneliti Lembaga Kajian Buku Indonesia, alumnus Pesantren Hidayatul Mubtadiin Ngunut Tulungagung Jatim

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang

Seputar Pertanyaan Filosofis dalam Filsafat Barat Judul buku : Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik, Zaman Kuno hingga Sekarang Penulis : Bertrand Russell Penerjemah : Sigit Jatmiko, Agung Prihantoro, Imam Muttaqien, Imam Baihaqi, Muhammad Shodiq Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet , November 2002 Tebal : xxvi+1110 halaman Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dunia yang kita sebut 'filosofis' dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsep-konsep religius dan etis warisan; kedua, semacam penelitian yang bisa disebut 'ilmiah' dalam pengertian luas. Kedua faktor ini mempengaruhi sistem yang dibuat oleh para filsuf secara perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tapi kedua faktor inilah yang, sampai batas-batas tertentu, memunculkan filsafat. Menurut Bertrand Russell, filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah antara teologi dan sains. Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran mengenai masalah-masalah yang pengetahua

Jauharul Muharram di Jawa, Melokalkan Tradisi Islam

TEGALREJO, MAGELANG-Rabu sore ( 9/1/2008 ) usai waktu ashar ketika pukul 16.00 waktu Indonesia bagian barat. Masyarakat di wilayah Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, berduyun-duyun menuju sebuah gedung berhalaman luas di Tepo, Dlimas. Kawasan Tepo tempat mereka berkumpul kurang lebih seluas 1 hektar. Mereka laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai orangtua. Pakaian yang dikenakan serba putih. Baju, sarung, mukena, jilbab, surban, dan peci. Sekitar 25.000 jamaah. Ada yang datang dari daerah Temanggung, Purworejo, Semarang, dan sekitarnya. Mereka duduk di tikar yang disediakan panitia atau membawa tikar sendiri. Namun banyak jamaah yang datang belakangan tidak kebagian tikar sehingga antar jamaah berjejalan di tikar yang tidak mampu menampung seluruh jamaah secara memadahi. Mereka berkumpul dan berdoa menengadahkan kedua tangan. Doa bersama dipimpin oleh KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hasan, Geger, Girirejo, Tegalrejo Magelang). Doa yang dipanjatkan adalah un

Antropologi Ziarah Kubur

Judul buku : Ziarah dan Wali dalam Dunia Islam Editor : Henri Chambert-Loir & Claude Guillot Penerjamah : Jean Couteau, Ari Anggari Harapan, Machasin, Andree Feillard Penerbit : Serambi Ilmu Semesta, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris Cetakan : Pertama, April 2007 Tebal : 588 halaman Antropologi Ziarah Kubur Oleh: Kholilul Rohman Ahmad Buku ini pertama kali terbit dalam bahasa Indonesia yang secara antropologis mengkaji perkembangan tradisi ziarah kubur dan wali dalam komunitas Islam pada masa modern. Di luar polemik ziarah kubur –misalnya, ziarah dicap perilaku takhayul, bid’ah, dan syirik tapi bernilai penghormatan terhadap wali (manusia yang diunggulkan Tuhan)—buku ini memperlihatkan bahwa tradisi ziarah merupakan aspek multidimensi atas perilaku keagamaan manusia yang sangat penting di pelosok dunia. A sal-usul tradisi ziarah di dunia Islam secara detail belum terungkap, namun tidak dapat disangkal, menurut buku ini (hlm. 11), ziarah kubur meminjam tradisi